Aliran Kehidupan
(Bangaran Pasamboan, S.Th.)
Bercerita dengan setiap orang yang dijumpai adalah pengalaman tersendiri yang sangat berarti dalam kehidupan saya sebagai seorang yang selalu berusaha untuk mencari nilai-nilai yang baik untuk kehidupan dari berbagai hal yang terjadi dalam segala perkara yang terjadi: besar atau kecil, membahagiakan atau mengharukan, semuanya memberi makna yang berarti bagi setiap orang yang mau belajar dari segala yang terjadi untuk memandunya mengerti dan mengambil tindakan yang tepat dalam setiap perkara yang akan dijumpainya.Saya mengenal seorang Bapak yang suka bercerita dengan gaya bahasanya yang selalu seperti seorang filsuf, seorang yang gaya bahasanya senantiasa puitis. Umurnya sudah tua tetapi semangatnya untuk mengerti banyak hal lebih baik dari banyak orang yang masih muda. Tidak berarti bahwa Bapak itu tidak memiliki kekurangan dalam hidupnya tetapi ia memberi banyak kelebihan jika menyimak dengan sungguh-sungguh setiap percakapan dengannya.
Dalam sebuah percakapan, diungkapkannya sebuah kalimat yang menjadi inspirasi untuk tulisan ini. Kalimat itu bersumber dari pepatah orangtua tentang bagaimana menempatkan dua hal secara benar dalam kehidupan; Dua hal itu bisa saling bertentangan tetapi juga bisa saling mendukung, bertentangan jika ditempatkan salah dan salin mendukung jika ditempatkan secara benar. Kedua hal itu adalah hubungan darah daging dan harta benda.
Ungkapan itu berasal dari bahasa Toraja yang berbunyi, 'E'penanna katuoan, dioi ia ulusalu tu buku rara na dioi ia pollo' wai tu pa'ewanan' (Ketentuan dalam kehidupan adalah bahwa hubungan darah daging ~ persaudaraan itu di hulu sungai sedangkan urusan harta benda itu di hilir). Ungkapan ini menggambarkan kehidupan sebagai sungai yang mengalir dari hulu ke hilir dan ketentuan yang seharusnya dipedomani adalah mengutamakan hubungan darah daging dari pada harta benda. Jika harta benda ditempatkan lebih utama dari pada hubungan persaudaraan, maka itu akan merusak kehidupan atau merugikan bagi pribadi yang melakukannya.
Petuah ini timbul dari tinjauan kehidupan pada masa-masa persiapan pemilihan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat - DPR) pada tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat. Banyak orang, yang tidak lagi mempertimbangkan hubungan darah daging untuk menentukan pilihannya tetapi kebanyakan orang memilih berdasarkan uang yang dia terima dari Calon Legislatif (Caleg), siapa yang paling banyak memberi uang, itu yang akan dipilih.
Ada orang yang lebih parah lagi, mereka menerima uang dari banyak Caleg tetapi ketika menentukan pilihannya, maka tidak satu pun dari Caleg yang dia terima uangnya yang dipilih tetapi memilih Caleg lain, mungkin itu adalah orang yang mempunyai hubungan darah daging dengan dia.
Sekilas melihat kedua pendirian dalam menentukan pilihan dalam menentukan orang-orang yang akan duduk di bangku legislatif (pembuat undang-undang), maka baiklah kita menyadari bahwa mereka yang memilih karena alasan hubungan darah daging maupun yang memilih karena alasan uang sebenarnya keliru dan tidak memahami dengan sungguh-sungguh hakikat dan tujuan pelaksanaan pemilihan legislatif.
Orang yang memilih karena alasan uang adalah mereka yang secara langsung memupuk semakin tumbuh suburnya korupsi sebab Caleg yang baru mulai mencalonkan diri harus menutupi banyak kerugian pada masa awal pemilihannya untuk menjadi anggota legislatif sehingga banyak dana pembangunan yang tidak tersalur ke sasaran pembangunan tetapi ke nomor rekening pribadi sebagai pengganti dana yang telah dikeluarkannya agar menduduki kursi legislatif. Hal ini semakin diperparah oleh adanya harapan untuk dapat terpilih lagi pada pemilihan berikut sehingga uang yang terkumpul harus semakin banyak.
Orang yang memilih karena alasan hubungan darah daging adalah mereka yang sebenarnya juga berujung pada kepentingan 'uang'. Memilih keluarga biasanya disertai dengan harapan bahwa akan ada yang memperhatikan kehidupannya dan dengan demikian kekeluargaan menjadi jalan masuk pada tujuan akan adanya yang memberi celah pada kedudukan, penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) misalnya atau yang menjadi sandaran untuk memenangkan tender proyek pembangunan yang akan mereka usahakan terkait dengan tugas mereka sebagai pusat penentuan pikiran dan tindakan pembangunan negara. Orang yang memilih karena alasan persaudaraan, adalah mereka yang mengarah pada dua penyelewengan negara yang biasa disebut: kolusi dan nepotisme yang juga pada akhirnya sampai juga kepada korupsi.
Dari uraian di atas, nampak bahwa aliran kehidupan dalam petuah orangtua tidak dapat diberlakukan secara keliru dalam proses pemilihan legislatif bahwa mari kita memilih anggota keluarga meski dia tidak punya uang dari pada mereka yang memberi uang tetapi yang tidak dikenal. Ini sudah melangkah jauh dari jangkauan yang dimaksudkan oleh orangtua dalam ungkapannya tentang aliran kehidupan. Hulu dan hilir sungai tidak ada kaitannya dengan proses persiapan dan pemilihan legislatif.
Memang benar bahwa hubungan darah daging harus lebih diutamakan dari pada urusan harta benda tetapi ungkapan ini harus lebih dipahami dalam cara pandang orangtua untuk menjaga tetap berlangsungnya hubungan kekeluargaan tanpa harus dihalangi oleh urusan harta benda. Orang yang mengabaikan kekeluargaan karena uang akan menjadi orang yang pada akhirnya menderita karena rusaknya hubungan dengan kerabatnya sehingga ketika ia mengalami hambatan kehidupan, ia akan sulit menemukan jalan keluar sebab jarang bahkan tidak ada keluarga yang mau membantunya.
Pada suatu tempat, saya memperhatikan bahwa aliran kehidupan ini sudah diputar oleh banyak orang dengan menempatkan harta benda di hulu sedangkan kekeluargaan di hilir; mementingkan harta benda dari pada keakraban kekeluargaan. Ada daerah tertentu yang warganya tidak menghadiri acara yang dilakukan oleh keluarganya jika ia tidak membawa 'apa-apa'. Dia diundang untuk syukuran keluarga tapi karena tidak punya uang atau ayam/babi, maka ia tidak hadir. Anggota keluarga yang melakukan acara tentu tidak akan mencari tahu alasan mengapa sanaknya tidak hadir tetapi tentu saja ia kecewa sebab anggota keluarganya tidak hadir untuk turut berbagi sukacita dengannya.
Bahkan lebih memilukan lagi karena paham seperti ini juga dipegang untuk kedukaan karena kematian. Ketika terjadi bahwa ada seseorang yang meninggal di kampung sebelah, saya tahu bahwa tetangga saya adalah kerabatnya dan saya mengajaknya untuk pergi ke kedukaan itu tetapi dijawab, masiri'ki' lalao aka tae' dengan dipolalan (Saya malu untuk pergi karena tidak ada yang menjadi jalan untuk ke sana). Maksud dari kalimat ini adalah dia tidak mau pergi sebab ia tidak mempunyai babi untuk dibawa kesana. Mari kita lihat mana yang lebih baik dalam pandangan keluarga yang berduka di antara dua kemungkinan ini: 1). Datang dengan tangan kosong -- tidak membawa babi atau 2). Mengirim babi untuk dipakai oleh keluarga tetapi tidak hadir berbagi duka dengan keluarga. Tentu saja yang terbaik adalah hadir berbagi duka sekaligus membantu keluarga yang berduka tetapi itu tidak dapat dipaksakan atau menjadi penghalang untuk saling menghibur sebab urusan harta benda itu tempatnya adalah dio pollo' wai. Persudaraan/kekeluargaan tetap diutamakan, harta benda mendukung kalau ada tetapi tidak menjadi penghalang kalau tiada.
La'ta, 28 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar