Mengkritisi Hidup Pengkritik
(Bangaran Pasamboan)
Bicara soal
Kebebasan mengeluarkan pendapat adalah suatu hal
yang mendasar dalam kehidupan manusia. Hal ini disadari dalam
pengetahuan akal sehat (common sense) manusia. Orang tidak peduli apakah
kebebasan
mengeluarkan pendapat itu dicantumkan dalam hak asasi
manusia secara tertulis atau tidak, bahkan orang tidak merasa penting
untuk mengetahui tentang hal-hal apa saja yang dicantumkan sebagai
hak-hak asasi manusia; yang jelas orang tahu bahwa kebebasan
mengeluarkan pendapat itu adalah hak setiap orang. Hak asasi manusia
menjadi sesuatu yang diketahui secara
akal sehat baik oleh orang terpelajar, maupun awam. Setiap orang tahu bahwa hak-hak asasi manusia itu terdiri dari
hak hidup, hak memilih dan meyakini suatu agama, dan tentu saja
hak mengeluarkan pendapat.
Apakah ada lagi yang menjadi hak asasi manusia selain dari tiga hak
yang telah disebutkan di atas? Penulis juga tidak mengetahuinya dengan
baik. Penulis memerlukan waktu yang lebih banyak dan perhatian yang
lebih besar untuk belajar banyak mengenai hal ini.
Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan pendapat mengenai
kebebasan mengeluarkan pendapat sehubungan dengan kecenderungan sosial
yang ada setelah timbulnya fenomena Reformasi dalam kehidupan berbangsa
Indonesia. Ide ini muncul setelah berbincang (tidak secara formal untuk
maksud wawancara) dengan seorang warga negara (Son ~ Samaran, ± 30 th.)
yang ikut prihatin dengan keberadaan Indonesia yang
serba salah, demikian dia memberi definisi untuk menyebut keadaan sosial politik di Indonesia.
Tidak semua aspek dari pembicaraan itu akan disampaikan dalam tulisan ini tetapi hanya yang berkaitan dengan
kebebasan mengeluarkan pendapat dan lebih spesifik lagi, tulisan ini akan menyampaikan kebebasan mengeluarkan pendapat yang sehubungan dengan
kritik mengkritik.
Kebebasan mengeluarkan pendapat diakui dalam UUD 1945. Hal ini
berarti bahwa dalam negara kita setiap orang bisa dengan bebas
mengeluarkan pendapat tentang apa saja. Dan memang benar bahwa
orang-orang menyampaikan pendapat tentang sejarah nasional, seperti yang
pernah dikemukakan oleh W.S. Rendra mengenai Gajah Mada yang seharusnya
dianggap sebagai "penjahat kemanusiaan" ketimbang "pahlawan yang
mempersatukan Nusantara" (Media Indonesia, Selasa, 19 Maret 2002),
demikian juga orang menyatakan pendapat tentang kenyataan masyarakat
sekitar yang ditemui sehari-hari, misalnya pergaulan bebas di
tempat-tempat kost, korupsi yang melanda negara Indonesia, dan lain
sebagainya.
Pendapat adalah sesuatu yang membuat dunia ini Indah. Pendapat
melatarbelakangi timbulnya pustaka-pustaka yang menawan, puisi-puisi
indah, bacaan-bacaan menarik, dan sebagainya. Tetapi sebaliknya pendapat
juga menjadi sumber kekacauan yang merugikan manusia karena terjadinya
pertengkaran berawal dari adanya pihak berbeda yang mempertahankan
pendapatnya sebagai yang benar. Pendapat, bisa saja berupa pujian,
tanggapan, sanggahan, dukungan, persetujuan dan ketidaksetujuan, dan
lain sebagainya. Salah satu bentuk dari pendapat yang belum diungkapkan
dalam daftar di atas adalah kritik.
Terus ke persoalan kritik mengkritik. Dari pembicaraan dengan Bapak Son didapatkan bahwa keadaan
serba salah
yang dialami oleh bangsa Indonesia berawal dari kritik mengkritik dan
pengkritik yang paling banyak menyampaikan kritikannya adalah dunia
mahasiswa yang tanpa sadar didalangi oleh "pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab" - entah siapa yang Bapak Son maksudkan dengan pihak
yang tidak bertanggungjawab. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan
bahwa secara serempak mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas di
Indonesia menyuarakan diadakannya reformasi sebagai hasil dari kritik
atas pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang
dianggap melakukan banyak
penyimpangan. Kalau tidak ada yang
mendalangi para mahasiswa, maka tidak mungkin terjadi demonstrasi secara
serempak. Untuk hal ini, perlu kajian dan penelitian sendiri.
Di sisi lain, perlu diacungkan jempol bagi mahasiswa karena dalam
sejarah tercatat bahwa pergantian Orde Lama ke Orde Baru adalah hasil
kritikan dari mahasiswa dalam bentuk demonstrasi terhadap pemerintahan
Presiden Soekarno dan begitu juga peralihan dari Orde Baru ke Era
Reformasi adalah hasil dari Kritik Mahasiswa - lagi-lagi dalam bentuk
demonstrasi, dan dalam Era Reformasi ini ketika masyarakat tidak hidup
dalam suasana adil dan makmur (tujuan negara Indonesia dalam UUD 1945),
mahasiswa tampil menyuarakan kritikan-kritikan dengan mengatasnamakan
kehadirannya sebagai "suara rakyat".
Sekarang, kita dengarkan kritikan untuk para pengkritik itu.
Mahasiswa yang adalah pengkritik ternyata sebenarnya juga adalah orang
yang tak pantas untuk mengkritik sebab orang yang mengkritik seharusnya
tidak melakukan apa yang dia kritik dan hal itu tidak (mungkin lebih
baik:
belum) ada dalam kehidupan mahasiswa. Mahasiswa, paling tidak dalam pengamatan Bapak Son, adalah orang-orang yang
korupsi,
dalam hal waktu misalnya - Janji berkumpul pada pukul 09.00 tetapi
berkumpul paling cepat pukul 10.00, bagaimana bisa menyuarakan
dihapuskannya korupsi; mahasiswa yang mengkritik tentang kinerja anggota
dewan (legislatif) yang tidak becus, ternyata adalah orang-orang yang
ketika mengumpulkan tugas adalah hasil contekan; pengkritik yang
menyuarakan dihilangkannya praktek suap-menyuap ternyata adalah
orang-orang yang rela "menyerahkan amplop" asal nilainya diperbaiki;
pengkritik yang yang menyuarakan supaya pemerintah mempunyai hati nurani
ternyata juga adalah orang-orang yang dalam hidupnya tidak mendengarkan
suara nuraninya, mabuk-mabukan, pergaulan bebas yang berlanjut ke kasus
aborsi, dan banyak kritikan lain untuk para pengkritik itu.
Terakhir, perlu kita lihat bahwa dalam bidang hukum, kritikan
mahasiswa menyuarakan supaya keadilan dapat ditegakkan. Pertanyaannya
adalah: siapakah yang ada di lembaga-lembaga hukum itu? Bukankah
orang-orang yang berperan di pengadilan itu adalah orang-orang yang
dulunya adalah mahasiswa?
Bapak Son (mungkin juga seluruh pihak) mengharapkan adanya pengkritik
tetapi pengkritik yang memenuhi kriteria yang benar, yaitu
Pengkritik yang baik adalah pengkritik yang tak terkritik.
Pertanyaan terakhir kita adalah:
Berhasilkah Perguruan Tinggi (sistem dan struktur yang ada di sana) mencetak pengkritik?
Non Scholae, Set Vitae Discimus ~~ Belajar bukan (hanya) untuk pengetahuan tetapi untuk kehidupan ~~
Tulisan ini dapat juga dibaca pada majalah
Inspirator; Edisi September - Nopember 2006 --
Manusia, Alam & GEREJA:
Inspirator Online