Total Tayangan Halaman

Rajin Pangkal Pandai

Rajin Pangkal Pandai

(Bangaran Pasamboan)

Rajin pangkal pandai adalah salah satu dari beberapa ungkapan (pepatah) pertama yang diketahui ketika memasuki bangku Sekolah Dasar (SD). Secara umum, pepatah ini dimengerti oleh orang termasuk mereka yang bergelut di bidang pendidikan dengan menambahkan satu kata ke dalamnya sehingga berbunyi Rajin belajar pangkal pandai. Dengan demikian, kebalikan dari pepatah ini adalah malas belajar berarti membiarkan diri menjadi bodoh.

Benarkah bahwa pepatah ini mengacu pada soal kerajinan belajar?
Orang yang sedang menggeluti dunia pendidikan, adalah mereka yang diharapkan dan/atau mengharapkan agar kelak mereka memperoleh pekerjaan yang baik; sedapat mungkin pekerjaan itu sesuai dengan tingkat pendidikan dan/atau bidang (disiplin ilmu) yang mereka pelajari.

Menghapus Windowsold

Menghapus Windowsold

(Bangaran Pasamboan, S.Th.)

Sebuah persoalan yang sering muncul dalam pengoperasian komputer adalah seringnya dilakukan penginstalan ulang sistem operasi komputer untuk tujuan upgrade atau karena sistem operasi windows yang mengalami gangguan.
Penginstalan ulang itu sering meninggalkan seluruh file sistem operasi windows sebelumnya dengan nama Windowsold, biasanya di drive C dengan ukuran yang cukup besar antara 3 - GB.
Jika ingin menghapus file tersebut; pada windows 7, lakukan dengan cara:
=> Klik kanan pada daerah kosong di drive C >> Properties >> Disk Cleanup.
=> Tunggu sampai proses kalkulasi selesai; Jika muncul layar dialog, klik Clean up system files dan tanggu sampai proses kalkulasi selesai.
=> Jika muncul layar dialog, beri tanda centang pada Previous windows installation(s); supaya tidak menghilangkan program yang ada pada windows, hilangkan tanda centang pada opsi lainnya. Kemudian klik Ok. Setelah itu akan dilakukan lagi kalkulasi dan setelah proses kalkulasi selesai, windowsold telah terhapus.

Proses dalam gambar:


Aliran Kehidupan

Aliran Kehidupan

(Bangaran Pasamboan, S.Th.)

Bercerita dengan setiap orang yang dijumpai adalah pengalaman tersendiri yang sangat berarti dalam kehidupan saya sebagai seorang yang selalu berusaha untuk mencari nilai-nilai yang baik untuk kehidupan dari berbagai hal yang terjadi dalam segala perkara yang terjadi: besar atau kecil, membahagiakan atau mengharukan, semuanya memberi makna yang berarti bagi setiap orang yang mau belajar dari segala yang terjadi untuk memandunya mengerti dan mengambil tindakan yang tepat dalam setiap perkara yang akan dijumpainya.

Saya mengenal seorang Bapak yang suka bercerita dengan gaya bahasanya yang selalu seperti seorang filsuf, seorang yang gaya bahasanya senantiasa puitis. Umurnya sudah tua tetapi semangatnya untuk mengerti banyak hal lebih baik dari banyak orang yang masih muda. Tidak berarti bahwa Bapak itu tidak memiliki kekurangan dalam hidupnya tetapi ia memberi banyak kelebihan jika menyimak dengan sungguh-sungguh setiap percakapan dengannya.

Dalam sebuah percakapan, diungkapkannya sebuah kalimat yang menjadi inspirasi untuk tulisan ini. Kalimat itu bersumber dari pepatah orangtua tentang bagaimana menempatkan dua hal secara benar dalam kehidupan; Dua hal itu bisa saling bertentangan tetapi juga bisa saling mendukung, bertentangan jika ditempatkan salah dan salin mendukung jika ditempatkan secara benar. Kedua hal itu adalah hubungan darah daging dan harta benda.
Ungkapan itu berasal dari bahasa Toraja yang berbunyi, 'E'penanna katuoan, dioi ia ulusalu tu buku rara na dioi ia pollo' wai tu pa'ewanan' (Ketentuan dalam kehidupan adalah bahwa hubungan darah daging ~ persaudaraan itu di hulu sungai sedangkan urusan harta benda itu di hilir). Ungkapan ini menggambarkan kehidupan sebagai sungai yang mengalir dari hulu ke hilir dan ketentuan yang seharusnya dipedomani adalah mengutamakan hubungan darah daging dari pada harta benda. Jika harta benda ditempatkan lebih utama dari pada hubungan persaudaraan, maka itu akan merusak kehidupan atau merugikan bagi pribadi yang melakukannya.

Petuah ini timbul dari tinjauan kehidupan pada masa-masa persiapan pemilihan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat - DPR) pada tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat. Banyak orang, yang tidak lagi mempertimbangkan hubungan darah daging untuk menentukan pilihannya tetapi kebanyakan orang memilih berdasarkan uang yang dia terima dari Calon Legislatif (Caleg), siapa yang paling banyak memberi uang, itu yang akan dipilih.
Ada orang yang lebih parah lagi, mereka menerima uang dari banyak Caleg tetapi ketika menentukan pilihannya, maka tidak satu pun dari Caleg yang dia terima uangnya yang dipilih tetapi memilih Caleg lain, mungkin itu adalah orang yang mempunyai hubungan darah daging dengan dia.
Sekilas melihat kedua pendirian dalam menentukan pilihan dalam menentukan orang-orang yang akan duduk di bangku legislatif (pembuat undang-undang), maka baiklah kita menyadari bahwa mereka yang memilih karena alasan hubungan darah daging maupun yang memilih karena alasan uang sebenarnya keliru dan tidak memahami dengan sungguh-sungguh hakikat dan tujuan pelaksanaan pemilihan legislatif.

Orang yang memilih karena alasan uang adalah mereka yang secara langsung memupuk semakin tumbuh suburnya korupsi sebab Caleg yang baru mulai mencalonkan diri harus menutupi banyak kerugian pada masa awal pemilihannya untuk menjadi anggota legislatif sehingga banyak dana pembangunan yang tidak tersalur ke sasaran pembangunan tetapi ke nomor rekening pribadi sebagai pengganti dana yang telah dikeluarkannya agar menduduki kursi legislatif. Hal ini semakin diperparah oleh adanya harapan untuk dapat terpilih lagi pada pemilihan berikut sehingga uang yang terkumpul harus semakin banyak.
Orang yang memilih karena alasan hubungan darah daging adalah mereka yang sebenarnya juga berujung pada kepentingan 'uang'. Memilih keluarga biasanya disertai dengan harapan bahwa akan ada yang memperhatikan kehidupannya dan dengan demikian kekeluargaan menjadi jalan masuk pada tujuan akan adanya yang memberi celah pada kedudukan, penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) misalnya atau yang menjadi sandaran untuk memenangkan tender proyek pembangunan yang akan mereka usahakan terkait dengan tugas mereka sebagai pusat penentuan pikiran dan tindakan pembangunan negara. Orang yang memilih karena alasan persaudaraan, adalah mereka yang mengarah pada dua penyelewengan negara yang biasa disebut: kolusi dan nepotisme yang juga pada akhirnya sampai juga kepada korupsi.

Dari uraian di atas, nampak bahwa aliran kehidupan dalam petuah orangtua tidak dapat diberlakukan secara keliru dalam proses pemilihan legislatif bahwa mari kita memilih anggota keluarga meski dia tidak punya uang dari pada mereka yang memberi uang tetapi yang tidak dikenal. Ini sudah melangkah jauh dari jangkauan yang dimaksudkan oleh orangtua dalam ungkapannya tentang aliran kehidupan. Hulu dan hilir sungai tidak ada kaitannya dengan proses persiapan dan pemilihan legislatif.

Memang benar bahwa hubungan darah daging harus lebih diutamakan dari pada urusan harta benda tetapi ungkapan ini harus lebih dipahami dalam cara pandang orangtua untuk menjaga tetap berlangsungnya hubungan kekeluargaan tanpa harus dihalangi oleh urusan harta benda. Orang yang mengabaikan kekeluargaan karena uang akan menjadi orang yang pada akhirnya menderita karena rusaknya hubungan dengan kerabatnya sehingga ketika ia mengalami hambatan kehidupan, ia akan sulit menemukan jalan keluar sebab jarang bahkan tidak ada keluarga yang mau membantunya.

Pada suatu tempat, saya memperhatikan bahwa aliran kehidupan ini sudah diputar oleh banyak orang dengan menempatkan harta benda di hulu sedangkan kekeluargaan di hilir; mementingkan harta benda dari pada keakraban kekeluargaan. Ada daerah tertentu yang warganya tidak menghadiri acara yang dilakukan oleh keluarganya jika ia tidak membawa 'apa-apa'. Dia diundang untuk syukuran keluarga tapi karena tidak punya uang atau ayam/babi, maka ia tidak hadir. Anggota keluarga yang melakukan acara tentu tidak akan mencari tahu alasan mengapa sanaknya tidak hadir tetapi tentu saja ia kecewa sebab anggota keluarganya tidak hadir untuk turut berbagi sukacita dengannya.
Bahkan lebih memilukan lagi karena paham seperti ini juga dipegang untuk kedukaan karena kematian. Ketika terjadi bahwa ada seseorang yang meninggal di kampung sebelah, saya tahu bahwa tetangga saya adalah kerabatnya dan saya mengajaknya untuk pergi ke kedukaan itu tetapi dijawab, masiri'ki' lalao aka tae' dengan dipolalan (Saya malu untuk pergi karena tidak ada yang menjadi jalan untuk ke sana). Maksud dari kalimat ini adalah dia tidak mau pergi sebab ia tidak mempunyai babi untuk dibawa kesana. Mari kita lihat mana yang lebih baik dalam pandangan keluarga yang berduka di antara dua kemungkinan ini: 1). Datang dengan tangan kosong -- tidak membawa babi atau 2). Mengirim babi untuk dipakai oleh keluarga tetapi tidak hadir berbagi duka dengan keluarga. Tentu saja yang terbaik adalah hadir berbagi duka sekaligus membantu keluarga yang berduka tetapi itu tidak dapat dipaksakan atau menjadi penghalang untuk saling menghibur sebab urusan harta benda itu tempatnya adalah dio pollo' wai. Persudaraan/kekeluargaan tetap diutamakan, harta benda mendukung kalau ada tetapi tidak menjadi penghalang kalau tiada.

La'ta, 28 Maret 2014

Adat Ma'bai Tallu

Adat Ma'bai Tallu
(Bangaran Pasamboan)

Ada dua keluarga yang hidup bertetangga di sebuah dusun (dalam wilayah yang dikenal dengan sebutan Tandalangngan) yang sebagian besar warganya adalah petani. Kedua keluarga ini terikat oleh hubungan pertalian darah di antara isteri mereka. Sebuah keluarga telah mempunyai dua orang anak dan keluarga yang lainnya memiliki tiga orang anak. Mereka hidup rukun dalam kekeluargaan mereka. Rumah mereka agak terpisah dari kebanyakan rumah di daerah mereka.
Karena sulitnya membangun kehidupan di daerah mereka dan meningkatnya kebutuhan hidup sebab mereka adalah masyarakat yang baru terbuka pada pembangunan untuk menyamakan diri dengan masyarakat semi kota, banyak di antara para warga yang keluar daerah untuk mencari "pekerjaan" (baca: penghasilan) yang lebih baik dari pada yang bisa mereka peroleh dengan melakukan pekerjaan yang sama di daerah mereka. Mereka pergi untuk menjadi buruh tani di daerah lain sementara mereka juga adalah petani di daerah mereka sendiri.
Satu dari banyak orang di daerah itu dan daerah sekitarnya yang pergi untuk mencari pekerjaan ke daerah lain adalah kepala keluarga dari salah satu keluarga yang disebutkan di atas.

Desa mereka, sama seperti kebanyakan orang Toraja di berbagai tempat, percaya akan adanya hubungan kehidupan dengan alam. Jika ada hal yang salah dilakukan oleh warga dusun, maka itu akan diketahui dari gejala alam, baik itu bencana seperti longsor, banjir, kebakaran, dll. maupun melalui rusaknya tanaman karena serangan binatang seperti 'babi hutan'.
Beberapa waktu setelah kepala keluarga yang disebutkan di atas pergi ke tempat yang agak jauh (menyeberang dengan kapal laut ke salah satu dari lima pulau besar di Indonesia), mulailah terjadi rusaknya tanaman penduduk karena serangan babi hutan.
Orang tersebut adalah orang yang kurang terpelajar dan kurang pengalaman sehingga ketika ia berada di daerah lain dan ayahnya meninggal dunia, ia tidak dapat kembali sebab tidak ada teman yang dapat mengantarnya. Suatu ketika ia mendapat telepon dari isterinya agar ia kembali sebab harus dilakukan suatu 'acara' yang terkait dengan dirinya. Dalam pikirannya acara itu terkait dengan kedukaan yang telah terjadi dalam keluarganya atau syukuran atas rumahnya yang belum pernah dilakukan. Segera sesudah ada teman yang juga akan pulang, ia kembali ke daerahnya setelah delapan bulan berada di tempat yang jauh.
Sesampai di kampung halamannya, ia terus menunggu 'acara' yang untuknya ia dipanggil pulang dan acara itu tidak kunjung juga dilakukan. Hatinya terus bertanya, 'mungkin ada sesuatu yang terjadi'?

Bulan demi bulan berlalu tetapi tidak ada acara yang berlaku dalam keluarganya, tidak juga salah satu atau kedua hal yang dipikirkannya ketika menerima telepon yang membuatnya kembali ke kampung halaman. Kurang dua hari sebelum genap enam bulan ia ada di kampung, lahirlah anak yang dikandung oleh isterinya. Ia merasa janggal dengan kelahiran anaknya sebab jika anak itu telah dikandung sebelum ia pergi, maka umurnya di dalam kandungan adalah delapan bulan ditambah enam bulan dan itu tidak sesuai dengan perhitungan berdasarkan medis yaitu sembilan bulan dan sepuluh hari. Jika anak itu mulai dikandung setelah ia sampai ke kampung, maka anak itu lahir prematur (belum sampai berumur enam bulan dalam kandungan) tetapi nyatanya anak itu lahir normal.

Keberatan yang muncul dalam benaknya tidak pernah diutarakannya secara resmi kepada pemerintah setempat, atau kepada pemuka agama untuk diurus sesuai adat-istiadat atau kebijakan agama. Ia tidak mencoba menyembunyikan persoalan itu tetapi ia menceritakannya dalam berbagai kesempatan kepada orang-orang yang dijumpainya. Persoalan itu tetap tinggal diam sampai lebih dari satu bulan kelahiran anaknya.

Suatu hari Minggu ~16 Maret 2014~ seorang warga masyarakat dalam daerah itu menghubungi pemerintah setempat (ketua RK) agar seluruh warga berkumpul dan melakukan acara ma'bille-bille tondok, suatu acara yang dimaksudkan untuk mencari tahu penyebab gencarnya serangan babi hutan akhir-akhir ini kepada tanaman masyarakat yang dikaitkan dengan keyakinan bahwa itu ada sangkut pautnya dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat. Karena hampir seluruh warga masyarakat beragama Kristen, maka hal itu disampaikan kepada warga masyarakat setelah ibadah hari Minggu selesai dilaksanakan di daerah itu.
Banyak orang yang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sebab biasanya orang yang mengumpulkan warga mempunyai informasi yang dianggapnya sebagai penyebab malapetaka yang terjadi dalam masyarakat dan kebanyakan orang telah menyadari bahwa sebenarnya usul ini didasari oleh keberatan yang telah dikemukakan oleh kepala keluarga yang merasa janggal dengan waktu kelahiran anaknya.

Sore hari, warga mulai berkumpul di rumah ketua RK dan mulailah orang berbincang tentang apa kiranya yang menjadi penyebab gencarnya serangan babi hutan di daerah mereka akhir-akhir ini dan seiring dengan sambung-menyambungnya berbagai kemungkinan yang diperkirakan, maka pada akhirnya orang sampai pada waktu kelahiran anak yang tidak normal dengan keberadaan suami dari ibu yang melahirkan itu.
Pertemuan itu kemudian mengutus orang yang adalah keluarga dari ibu yang melahirkan untuk menanyakan tentang apakah benar bahwa ayah anaknya yang telah lahir itu adalah suaminya atau telah terjadi penyimpangan susila di balik peristiwa lahirnya anak dari kandungannya. Ibu itu menyebutkan satu nama dan pada malam itu pertemuan dihentikan setelah orang yang diutus untuk menanyakan perihal itu kembali dan mengatakan bahwa demi pertimbangan situasi, maka sebaiknya besok saja baru persoalan itu dibuka.

Pertemuan itu bubar setelah hampir tengah malam dengan umumnya orang telah mengetahui nama orang yang 'melanggar' tata hidup bersama dalam masyarakat itu dari mulut ke mulut dengan bisikan. Orang kembali ke tempatnya masing-masing dan ada beberapa orang yang merasa terkait atau bertanggungjawab untuk mengurus persoalan itu berkumpul untuk membicarakan langkah-langkah yang harus dilalui dalam memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak. Setiap orang pulang untuk beristirahat tetapi karena persoalan itu melibatkan orang yang tidak disangka-sangka, maka sepertinya setiap orang tertarik untuk tidak tidur atau tidak bisa tidur dan turut memikirkan persoalan itu dari berbagai sisi.

Sekitar dua jam kemudian, terdengar raung tangis dari sebuah rumah, tangis seorang perempuan. Orang-orang yang belum tidur berdatangan ke rumah di mana terdengar tangis dan menjumpai pasangan suami-isteri yang sedang berpelukan. Mereka menangis. Suami dalam keluarga itu adalah orang yang melakukan pelanggaran dan ia memberitahukan hal itu kepada isterinya dan isterinya yang terkejut mendengarnya menangis; seakan tak bisa menerima kenyataan yang terjadi. Suaminya menangis karena menyesali apa yang telah terjadi.
Setiap orang yang datang memberi kata-kata penguatan atau penghiburan, petuah, dan sejenisnya. Ada yang hanya menyatakan keprihatinannya dengan menitikkan air mata dan ada yang hanya diam. Kesedihan seakan bertambah sebab kedua anak mereka yang masih kecil juga terbangun; satu menangis dan yang lainnya ketika ditanya, 'mengapa tidak tidur?' menjawab bahwa ia merasa lapar, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa setelah ibu itu berhenti menangis, ia mengalami rasa sakit pada perutnya yang saat itu sedang hamil tua.
Setelah keadaan tenang lagi, orang-orang bubar lagi dari rumah itu dan hanya ada beberapa orang yang tinggal untuk tidur di rumah itu.

Hari baru tiba, Senin, 17 Maret 2014 dan hari itu dalam masyarakat itu terdengar kabar bahwa juga ada berita sukacita sebab telah lahir puteri kembar dari seorang ibu dalam masyarakat itu. Suatu berita yang menghibur hati masyarakat yang sedang dirundung duka karena peristiwa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mereka.
Sedianya pertemuan warga dilaksanakan lagi pada pagi hari namun karena keadaan, maka pertemuan itu dilaksanakan setelah lewat tengah hari. Ini dikarenakan ada orang dari pihak ibu yang melahirkan anak yang bukan bayi suaminya itu yang menghubungi keluarga mereka yang berada di daerah lain dan orang-orang yang sedang berkumpul merasa penting untuk menunggu keluarga pihak ibu itu untuk membicarakan bersama. Pihak yang ditunggu terlalu lama datang sehingga orang yang berkumpul memutuskan untuk mulai berbicara dan memutuskan acara yang akan dilakukan untuk perbaikan hubungan (rekonsiliasi) akibat rusaknya tatanan kehidupan bersama yang terjadi saat itu. Diharapkan bahwa keputusan dari pembicaraan itu akan disetujui oleh mereka atau bahwa mereka akan tiba pada saat pembicaraan itu sedang berlangsung.
Pembicaraan berlangsung dan disepakati bahwa acara adat yang akan diberlakukan adalah ma'bai tallu, suatu tingkatan acara adat yang paling ringan atau kedua teringan dalam masyarakat itu untuk kasus seperti ini, yaitu mengorbankan tiga ekor babi dengan tata cara sebagai berikut:

    Pada sore hari dilaksanakan pebabaran pemali (pengakuan dosa) dengan mengorbankan seekor babi yang sudah pernah beranak satu kali tanpa memandang ukuran, walau hanya babi kecil tetapi yang jelas bahwa dia telah beranak satu kali. Babi besar tetapi belum pernah beranak atau telah lebih dari satu kali beranak tidak diperkenankan. Acara ini dilaksanakan di luar kampung (salian bamba) dan daging dari babi yang dikorbankan tidak boleh kembali ke kampung artinya orang sekampung tidak boleh memakannya demikian juga dengan orang yang di luar kampung itu tetapi adalah keluarga dari pihak yang melakukan kesalahan yang untuknya babi itu dikorbankan tidak boleh memakan daging dari acara itu.

    Setelah acara pebabaran pemali selesai dilaksanakan di luar kampung, maka dilaksanakanlah acara pa'tomatuan (penghargaan kepada orangtua - ? -) di kampung yaitu dengan mengorbankan seekor babi. Juga untuk acara ini babi dikorbankan tanpa melihat ukuran. Babi yang masih menyusu pada induknya pun boleh dipergunakan. Daging babi dari acara ini dapat dimakan oleh siapa saja yang hadir di tempat acara itu dilaksanakan. Dalam kasus yang dibahas di sini, acara pa'tomatuan dilakukan di rumah ketua RK tempat yang sama di mana orang berkumpul dan membicarakan persoalan ini. Tidak ada yang mengetahui pasti makna acara ini. Ada yang beranggapan bahwa itu adalah wujud ungkapan rasa terima kasih kepada tua-tua kampung yang telah terlibat dalam proses sehingga perbaikan hubungan dapat terlaksana, ada yang menganggapnya sebagai pengungkapan rasa syukur oleh pihak yang bersalah sebab ia telah diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya, ada yang melihatnya sebagai pernyataan kesediaan dari pihak yang bersalah untuk berkorban demi perbaikan hubungan yang telah rusak karena perbuatannya, dan ada yang memahaminya sebagai wujud 'kesaksian kepada roh-roh orangtua yang telah meninggal' bahwa acara itu telah dilakukan untuk sampai kepada puncak dari seluruh acara yaitu pembersihan kesalahan atau perbaikan hubungan yang akan dilaksanakan pada besok hari. Istilah dalam bahasa Toraja untuk acara ini adalah dipessa'bian lako tomatua kumua diolami alukna na la lambi'mo lako kasu'pikanna

    Acara puncak dari kegiatan ini disebut pa'todingan, istilah yang biasa digunakan oleh orangtua zaman dulu untuk menyebut ritus yang sama dengan pemahaman baptisan kudus dalam agama Kristen jika acara itu dilakukan bagi anak-anak, yaitu bahwa anak yang di-toding dioles keningnya dengan darah babi yang dikorbankan sebagai tanda bahwa dia telah dipersatukan dengan Sang Pencipta. Acara pa'todingan dalam kasus ini dipahami sebagai perbaikan hubungan antara kedua keluarga yang telah rusak hubungannya dan perbaikan hubungan suami isteri dalam kedua rumah tangga serta perbaikan hubungan pihak yang bersalah dengan seluruh warga dan keluarga. Babi yang dikorbankan adalah minimal bai sangleso. Sangleso adalah sebutan untuk pembagian binatang (harga atau hak kepemilikan) sebesar seperdelapan. Bai sangleso mengacu pada babi yang harganya sama dengan seperdelapan tedong tarinan, kerbau ukuran paling kecil yang sudah layak jual -- kerbau yang tidak lagi menyusu pada induknya. Berikut sebutan pembagian binatang (biasanya lebih banyak mengacu kepada kerbau) di daerah kasus ini berlaku adalah: sese untuk seperdua, tepo untuk seperempat, leso untuk seperdelapan, daluk untuk seperenam belas, bidang untuk sepertiga puluh dua dan apa' untuk seperenam puluh empat. Di depan dari istilah ini biasanya ditambahkan bilangan sesuai besaran yang untuknya seseorang mendapat bagian dan satu bagian disebut dengan sang; sangleso arinya satu per empat bagian, pitung daluk artinya tujuh/enam belas bagian. Di tempat lain urutan pembagian binatang hanya sampai sepertiga puluh dua dengan sebutan urutan pembagian: sese, tepo, leso, daluk, kapiu'.

Setelah putus dengan ketentuan adat ma'bai tallu, sebuah usul dikemukakan juga untuk dipertimbangkan oleh peserta pertemuan mengenai acara pa'buttuan sebab laki-laki yang terlibat dalam masalah adalah seorang anggota majelis. Pa'buttuan adalah acara penyucian diri yang dilakukan oleh pemangku di bidang agama (pebawa aluk) dengan mengorbankan babi belang di bukit atau gunung jika ia melakukan kesalahan. Babi untuk acara ini tidak boleh terlalu kecil dan hanya ditanggung oleh pebawa aluk itu sendiri.
Usul ini ditolak dengan alasan bahwa pebawa aluk pada masa sebelum orangtua mengenal kekristenan dan jabatan majelis pada masa sekarang adalah berbeda: pebawa aluk pada zaman dulu bersifat menetap sebab itu adalah diwariskan turun-temurun berdasarkan garis keturunan (sibawai ia rarana dalam istilah bahasa Toraja) sedangkan majelis adalah jabatan temporer (berjangka) dan setiap orang bisa terpilih untuk jabatan ini jika dilaksanakan pemilihan untuk mengganti majelis pada akhir masa jabatan mereka.

Kembali ke proses percakapan untuk mengambil langkah penyelesaian persoalan yang terjadi dalam masyarakat tentang ma'bai tallu dalam percakapan sore hari seperti yang telah digambarkan di atas. Ada perbedaan pemahaman antara orang-orang tertentu mengenai bagaimana bai tallu itu dibagi di antara kedua pihak yang bersalah; pihak yang bersalah itu adalah laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan yang membuahkan lahirnya anak.
Ada yang mengatakan bahwa babi untuk acara pebabaran pemali ditanggung oleh kedua belah pihak dengan masing-masing menanggung sangsese (setengah bagian), demikian juga babi pada acara pa'tomatuan masing-masing pihak menanggung sangsese, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi dengan pihak laki-laki menanggung tallung tepo (tiga per empat bagian) dan pihak perempuan menanggung sangtepo (seperempat bagian).
Ada juga yang mengatakan bahwa babi untuk acara pebabaran pemali na sisangsesei artinya setiap pihak menanggung setengah bagian, lalu babi untuk acara pa'tomatuan ditanggulangi oleh pihak laki-laki, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi menjadi tallung tepo ditanggung laki-laki dan sangtepo ditanggung perempuan.

Karena adanya perbedaan pendapat orang-orang mengenai tata cara pembagian beban bai tallu itu, maka peserta pertemuan diminta untuk memberi sumbang saran mengenai bagaimana sebaiknya bai tallu itu dibagi di antara dua pihak dengan catatan bahwa selama babi yang dikorbankan ada tiga ekor dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan adat, maka itu tidak melanggar adat dan baiklah pembagiannya diatur secara kekeluargaan.
Menanggapi masukan ini, ada banyak usul yang disampaikan oleh peserta pertemuan; ada yang bersifat memihak pada pihak tertentu tetapi ada juga yang memang benar-benar memikirkan kebaikan bersama. Seorang peserta mengusulkan agar sebaiknya tiga babi itu masing-masing ditanggung sangsese oleh pihak laki-laki dan perempuan pada tiga jenis pengorbanan yang akan berlaku mempertimbangkan bahwa setiap acara menggunakan babi yang berbeda ukurannya (berarti juga berbeda harga). Usul ini dikemukakan dengan pertimbangan bahwa persoalan yang terjadi itu adalah kesalahan kedua belah pihak dan dengan cara itu maka beban juga akan seimbang antara pihak laki-laki dan perempuan. Suara lain yang sepertinya memihak adalah usul supaya pembagian babi itu adalah bahwa babi untuk pebaran pemali ditanggulangi oleh laki-laki, pa'tomatuan ditanggulangi oleh perempuan dan pa'todingan dibagi dengan tallung tepo untuk laki-laki dan sangtepo untuk perempuan.
Dari percakapan yang tidak bisa bertemu itu, akhirnya suara terbanyak lebih memilih untuk mengikuti pembagian: babi pebabaran pemali na sisangsesei artinya setiap pihak menanggung setengah bagian, babi untuk acara pa'tomatuan juga na sisangsesei, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi menjadi tallung tepo ditanggung laki-laki dan sangtepo ditanggung perempuan. Alasan pembagian yang tidak seimbang pada babi yang dikorbankan pada acara pa'todingan adalah karena selalu ada anggapan bahwa dalam kasus seperti yang dibahas saat itu, kesalahan laki-laki selalu lebih besar.

Setelah keputusan itu ditetapkan, maka pihak keluarga perempuan yang ditunggu telah sampai ke lokasi tetapi mereka berkumpul di rumah anggota keluarga mereka. Mereka terus ditunggu untuk hadir ke rumah ketua RK tetapi mereka tidak kunjung datang. Melihat situasi ini, seorang dari peserta pertemuan diminta untuk menyampaikan keputusan pertemuan kepada mereka yang ditolak oleh keluarga pihak perempuan. Mereka meminta supaya pihak perempuan hanya menanggung sangtepo dari setiap babi yang akan dipakai dalam acara ma'bai tallu itu.
Pembicaraan antara tua-tua kampung dan keluarga pihak perempuan dilaksanakan hampir sepanjang malam dan akhirnya keputusan akhir yang disepakati ketika hari hampir pagi adalah: babi untuk acara pebabaran pemali na sisangsesei artinya setiap pihak menanggung setengah bagian, lalu babi untuk acara pa'tomatuan ditanggulangi oleh pihak laki-laki, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi dengan tallung tepo ditanggung laki-laki dan sangtepo ditanggung perempuan.

Ada masukan bahwa jika kedua pihak ini melakukan lagi pelanggaran yang sama, maka kepada mereka akan dilakukan hukum adat yang lebih berat yaitu dengan mengorbankan seekor kerbau untuk pebabaran pemali dengan setiap pihak menanggung sangsese; ditambah tiga ekor babi yang besarnya minimal bai sangleso yang setiap ekornya ditanggung sangsese oleh setiap pihak. Ketiga babi itu akan dipakai untuk acara pa'tomatuan mengorbankan seekor babi, acara pa'todingan mengorbankan seekor babi, dan acara ma'burake (pesta sukacita bagi masyarakat setelah kehidupan yang rusak diperbaiki) mengorbankan satu ekor babi.

Ketika acara ma'bai tallu dilakukan, ibadah kristiani dilaksanakan dalam acara pa'todingan. Setelah ibadah dilaksanakan, dua keluarga saling bersalaman tanda selesainya permasalahan di antara mereka.
Masih diharapkan (tetapi tidak bersifat mengikat) bahwa kedua keluarga ini masih akan melakukan acara mappori dapo' (memperbaiki ikatan rumah tangga) dan karena mereka akan dikenahi aturan gerejawi (siasat) yang menyebabkan terbatasnya pelayanan gereja hanya untuk menerima pastoral/bimbingan rohani kepada mereka, maka hal itu akan mereka lakukan setelah mereka membawa diri mereka untuk mengakui kesalahan mereka di depan jemaat sehingga siasat mereka dibuka.

Sampai di sini selesailah ulasan tentang ma'bai tallu tetapi masih ada catatan kecil yang perlu dituliskan sebagai penutup tulisan ini. Tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa penulis mengetahui setiap hal mengenai adat-istiadat tetapi ini dimaksudkan untuk menjadi catatan untuk merenungkan budaya secara mendalam demi lebih memahami kehidupan dan tata kehidupan yang baik untuk dikembangkan demi menunjang hidup yang tertata baik untuk mendatangkan damai sejahtera dalam kehidupan manusia.

Disebutkan bahwa adat ma'bai tallu adalah aturan adat yang menempati posisi teringan atau kedua teringan dalam kasus penyelewengan kehidupan berumahtangga; teringan jika dilakukan oleh pihak yang sama-sama telah berumahtangga dan kedua teringan jika dalam perusakan rumah tangga orang lain, seperti yang akan disebutkan selanjutnya dalam paragraf berikutnya. Hukum adat itu tergantung pada kasta orang yang melakukan pelanggaran, makin tinggi kastanya, makin berat pula hukumannya; ada adat ma'bai lima (mengorbankan lima ekor babi), ma'bai pitu (mengorbankan tujuh ekor babi), mungkin ada lagi yang lainnya dan tergantung pada bagaimana pelanggaran terjadi.
Susunan kasta (tana' dalam bahasa Toraja) dalam masyarakat Toraja, dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah tana' koa-koa, tana' karurung, tana' bassi, dan tana' bulawan. Tana' koa-koa adalah para hamba, tana' karurung adalah orang kebanyakan, tana' bassi adalah mereka yang punya hamba tetapi tidak mempunyai pengaruh dalam memutuskan perkara yang terjadi dalam masyarakat, tana' bulawan adalah bangsawan yang menguasai segalanya.
Dalam keseharian masyarakat saat ini, tana' tidak lagi secara kaku mengatur kehidupan bersama tetapi tetap akan nampak dalam perkara-perkara seperti yang dituliskan dalam uraian pendek ini.

Masih dalam percakapan dalam proses penyelesaian masalah dalam kasus yang telah disebutkan dalam tulisan ini, terungkap bahwa jika yang melakukan pelanggaran serupa adalah seorang pemuda kepada isteri sesamanya, maka masalahnya bisa selesai dengan anak muda itu melakukan acara mappori dapo' dimana pemuda itu mengakui kesalahan dan mengikat kembali hubungan rumahtangga yang dirusakkannya dengan mengorbankan seekor babi. Bagaimana hubungan kasta dan pemberlakuan hukum adat mappori dapo' dalam kasus seperti ini belum diketahui oleh penulis.
Tetapi juga berdasarkan pengalaman, maka ada cerita bahwa pernah terjadi seorang pemuda menghamili isteri sesamanya dan berlaku adat pebabaran pemali dengan mengorbankan seekor kerbau yang diusahakan oleh laki-laki tetapi juga turut ditanggung sangtepo oleh perempuan dan pa'todingan dengan mengorbankan babi sesuai standar yang telah disebutkan di atas yang diusahakan oleh perempuan tetapi laki-laki turut menanggung sangsese.

Demikian seluruh yang dapat dituangkan dalam tulisan ini dengan harapan bahwa ini bisa membantu masyarakat setempat untuk mengetahui budaya warisan orangtua sehingga mereka memegangnya menjadi patokan atau supaya tidak menjadi perdebatan lagi pada masa yang akan datang jika terjadi hal yang sama; tentu saja diharapkan bahwa itu tidak terjadi, tetapi sebagai manusia yang selalu bisa 'salah', maka apa yang telah dilakukan dalam kasus yang dituangkan di sini dapat menjadi patokan. Bagi setiap orang yang memperoleh kesempatan untuk membaca tulisan ini, kiranya dapat menjadikannya bahan untuk memikirkan bagaimana budaya dapat menjadi patokan manusia dan bagaimana manusia bersikap atas budaya.
Sebuah nasihat yang muncul dalam proses penyelesaian masalah yang dibahas di atas berkata: manusia memang bisa tersandung dan atau jatuh tetapi hanya orang bodohlah yang tersandung dan atau jatuh pada batu atau lubang yang sama menjadi anak kunci untuk menutup lembaran ini.

MENERUSKAN KEBAIKAN

Kamis, 14 Nopember 2024 Renungan Pagi Amsal 3:27 Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau ma...