Adat Ma'bai Tallu
(Bangaran Pasamboan)
Ada dua keluarga yang hidup bertetangga di sebuah dusun (dalam wilayah yang dikenal dengan sebutan Tandalangngan) yang sebagian besar warganya adalah petani. Kedua keluarga ini terikat oleh hubungan pertalian darah di antara isteri mereka. Sebuah keluarga telah mempunyai dua orang anak dan keluarga yang lainnya memiliki tiga orang anak. Mereka hidup rukun dalam kekeluargaan mereka. Rumah mereka agak terpisah dari kebanyakan rumah di daerah mereka.
Karena sulitnya membangun kehidupan di daerah mereka dan meningkatnya kebutuhan hidup sebab mereka adalah masyarakat yang baru terbuka pada pembangunan untuk menyamakan diri dengan masyarakat semi kota, banyak di antara para warga yang keluar daerah untuk mencari "pekerjaan" (baca: penghasilan) yang lebih baik dari pada yang bisa mereka peroleh dengan melakukan pekerjaan yang sama di daerah mereka. Mereka pergi untuk menjadi buruh tani di daerah lain sementara mereka juga adalah petani di daerah mereka sendiri.
Satu dari banyak orang di daerah itu dan daerah sekitarnya yang pergi untuk mencari pekerjaan ke daerah lain adalah kepala keluarga dari salah satu keluarga yang disebutkan di atas.
Desa mereka, sama seperti kebanyakan orang Toraja di berbagai tempat, percaya akan adanya hubungan kehidupan dengan alam. Jika ada hal yang salah dilakukan oleh warga dusun, maka itu akan diketahui dari gejala alam, baik itu bencana seperti longsor, banjir, kebakaran, dll. maupun melalui rusaknya tanaman karena serangan binatang seperti 'babi hutan'.
Beberapa waktu setelah kepala keluarga yang disebutkan di atas pergi ke tempat yang agak jauh (menyeberang dengan kapal laut ke salah satu dari lima pulau besar di Indonesia), mulailah terjadi rusaknya tanaman penduduk karena serangan babi hutan.
Orang tersebut adalah orang yang kurang terpelajar dan kurang pengalaman sehingga ketika ia berada di daerah lain dan ayahnya meninggal dunia, ia tidak dapat kembali sebab tidak ada teman yang dapat mengantarnya. Suatu ketika ia mendapat telepon dari isterinya agar ia kembali sebab harus dilakukan suatu 'acara' yang terkait dengan dirinya. Dalam pikirannya acara itu terkait dengan kedukaan yang telah terjadi dalam keluarganya atau syukuran atas rumahnya yang belum pernah dilakukan. Segera sesudah ada teman yang juga akan pulang, ia kembali ke daerahnya setelah delapan bulan berada di tempat yang jauh.
Sesampai di kampung halamannya, ia terus menunggu 'acara' yang untuknya ia dipanggil pulang dan acara itu tidak kunjung juga dilakukan. Hatinya terus bertanya, 'mungkin ada sesuatu yang terjadi'?
Bulan demi bulan berlalu tetapi tidak ada acara yang berlaku dalam keluarganya, tidak juga salah satu atau kedua hal yang dipikirkannya ketika menerima telepon yang membuatnya kembali ke kampung halaman. Kurang dua hari sebelum genap enam bulan ia ada di kampung, lahirlah anak yang dikandung oleh isterinya. Ia merasa janggal dengan kelahiran anaknya sebab jika anak itu telah dikandung sebelum ia pergi, maka umurnya di dalam kandungan adalah delapan bulan ditambah enam bulan dan itu tidak sesuai dengan perhitungan berdasarkan medis yaitu sembilan bulan dan sepuluh hari. Jika anak itu mulai dikandung setelah ia sampai ke kampung, maka anak itu lahir prematur (belum sampai berumur enam bulan dalam kandungan) tetapi nyatanya anak itu lahir normal.
Keberatan yang muncul dalam benaknya tidak pernah diutarakannya secara resmi kepada pemerintah setempat, atau kepada pemuka agama untuk diurus sesuai adat-istiadat atau kebijakan agama. Ia tidak mencoba menyembunyikan persoalan itu tetapi ia menceritakannya dalam berbagai kesempatan kepada orang-orang yang dijumpainya. Persoalan itu tetap tinggal diam sampai lebih dari satu bulan kelahiran anaknya.
Suatu hari Minggu ~16 Maret 2014~ seorang warga masyarakat dalam daerah itu menghubungi pemerintah setempat (ketua RK) agar seluruh warga berkumpul dan melakukan acara ma'bille-bille tondok, suatu acara yang dimaksudkan untuk mencari tahu penyebab gencarnya serangan babi hutan akhir-akhir ini kepada tanaman masyarakat yang dikaitkan dengan keyakinan bahwa itu ada sangkut pautnya dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat. Karena hampir seluruh warga masyarakat beragama Kristen, maka hal itu disampaikan kepada warga masyarakat setelah ibadah hari Minggu selesai dilaksanakan di daerah itu.
Banyak orang yang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sebab biasanya orang yang mengumpulkan warga mempunyai informasi yang dianggapnya sebagai penyebab malapetaka yang terjadi dalam masyarakat dan kebanyakan orang telah menyadari bahwa sebenarnya usul ini didasari oleh keberatan yang telah dikemukakan oleh kepala keluarga yang merasa janggal dengan waktu kelahiran anaknya.
Sore hari, warga mulai berkumpul di rumah ketua RK dan mulailah orang berbincang tentang apa kiranya yang menjadi penyebab gencarnya serangan babi hutan di daerah mereka akhir-akhir ini dan seiring dengan sambung-menyambungnya berbagai kemungkinan yang diperkirakan, maka pada akhirnya orang sampai pada waktu kelahiran anak yang tidak normal dengan keberadaan suami dari ibu yang melahirkan itu.
Pertemuan itu kemudian mengutus orang yang adalah keluarga dari ibu yang melahirkan untuk menanyakan tentang apakah benar bahwa ayah anaknya yang telah lahir itu adalah suaminya atau telah terjadi penyimpangan susila di balik peristiwa lahirnya anak dari kandungannya. Ibu itu menyebutkan satu nama dan pada malam itu pertemuan dihentikan setelah orang yang diutus untuk menanyakan perihal itu kembali dan mengatakan bahwa demi pertimbangan situasi, maka sebaiknya besok saja baru persoalan itu dibuka.
Pertemuan itu bubar setelah hampir tengah malam dengan umumnya orang telah mengetahui nama orang yang 'melanggar' tata hidup bersama dalam masyarakat itu dari mulut ke mulut dengan bisikan. Orang kembali ke tempatnya masing-masing dan ada beberapa orang yang merasa terkait atau bertanggungjawab untuk mengurus persoalan itu berkumpul untuk membicarakan langkah-langkah yang harus dilalui dalam memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak. Setiap orang pulang untuk beristirahat tetapi karena persoalan itu melibatkan orang yang tidak disangka-sangka, maka sepertinya setiap orang tertarik untuk tidak tidur atau tidak bisa tidur dan turut memikirkan persoalan itu dari berbagai sisi.
Sekitar dua jam kemudian, terdengar raung tangis dari sebuah rumah, tangis seorang perempuan. Orang-orang yang belum tidur berdatangan ke rumah di mana terdengar tangis dan menjumpai pasangan suami-isteri yang sedang berpelukan. Mereka menangis. Suami dalam keluarga itu adalah orang yang melakukan pelanggaran dan ia memberitahukan hal itu kepada isterinya dan isterinya yang terkejut mendengarnya menangis; seakan tak bisa menerima kenyataan yang terjadi. Suaminya menangis karena menyesali apa yang telah terjadi.
Setiap orang yang datang memberi kata-kata penguatan atau penghiburan, petuah, dan sejenisnya. Ada yang hanya menyatakan keprihatinannya dengan menitikkan air mata dan ada yang hanya diam. Kesedihan seakan bertambah sebab kedua anak mereka yang masih kecil juga terbangun; satu menangis dan yang lainnya ketika ditanya, 'mengapa tidak tidur?' menjawab bahwa ia merasa lapar, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa setelah ibu itu berhenti menangis, ia mengalami rasa sakit pada perutnya yang saat itu sedang hamil tua.
Setelah keadaan tenang lagi, orang-orang bubar lagi dari rumah itu dan hanya ada beberapa orang yang tinggal untuk tidur di rumah itu.
Hari baru tiba, Senin, 17 Maret 2014 dan hari itu dalam masyarakat itu terdengar kabar bahwa juga ada berita sukacita sebab telah lahir puteri kembar dari seorang ibu dalam masyarakat itu. Suatu berita yang menghibur hati masyarakat yang sedang dirundung duka karena peristiwa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mereka.
Sedianya pertemuan warga dilaksanakan lagi pada pagi hari namun karena keadaan, maka pertemuan itu dilaksanakan setelah lewat tengah hari. Ini dikarenakan ada orang dari pihak ibu yang melahirkan anak yang bukan bayi suaminya itu yang menghubungi keluarga mereka yang berada di daerah lain dan orang-orang yang sedang berkumpul merasa penting untuk menunggu keluarga pihak ibu itu untuk membicarakan bersama. Pihak yang ditunggu terlalu lama datang sehingga orang yang berkumpul memutuskan untuk mulai berbicara dan memutuskan acara yang akan dilakukan untuk perbaikan hubungan (rekonsiliasi) akibat rusaknya tatanan kehidupan bersama yang terjadi saat itu. Diharapkan bahwa keputusan dari pembicaraan itu akan disetujui oleh mereka atau bahwa mereka akan tiba pada saat pembicaraan itu sedang berlangsung.
Pembicaraan berlangsung dan disepakati bahwa acara adat yang akan diberlakukan adalah ma'bai tallu, suatu tingkatan acara adat yang paling ringan atau kedua teringan dalam masyarakat itu untuk kasus seperti ini, yaitu mengorbankan tiga ekor babi dengan tata cara sebagai berikut:
Pada sore hari dilaksanakan pebabaran pemali (pengakuan dosa) dengan mengorbankan seekor babi yang sudah pernah beranak satu kali tanpa memandang ukuran, walau hanya babi kecil tetapi yang jelas bahwa dia telah beranak satu kali. Babi besar tetapi belum pernah beranak atau telah lebih dari satu kali beranak tidak diperkenankan. Acara ini dilaksanakan di luar kampung (salian bamba) dan daging dari babi yang dikorbankan tidak boleh kembali ke kampung artinya orang sekampung tidak boleh memakannya demikian juga dengan orang yang di luar kampung itu tetapi adalah keluarga dari pihak yang melakukan kesalahan yang untuknya babi itu dikorbankan tidak boleh memakan daging dari acara itu.
Setelah acara pebabaran pemali selesai dilaksanakan di luar kampung, maka dilaksanakanlah acara pa'tomatuan (penghargaan kepada orangtua - ? -) di kampung yaitu dengan mengorbankan seekor babi. Juga untuk acara ini babi dikorbankan tanpa melihat ukuran. Babi yang masih menyusu pada induknya pun boleh dipergunakan. Daging babi dari acara ini dapat dimakan oleh siapa saja yang hadir di tempat acara itu dilaksanakan. Dalam kasus yang dibahas di sini, acara pa'tomatuan dilakukan di rumah ketua RK tempat yang sama di mana orang berkumpul dan membicarakan persoalan ini. Tidak ada yang mengetahui pasti makna acara ini. Ada yang beranggapan bahwa itu adalah wujud ungkapan rasa terima kasih kepada tua-tua kampung yang telah terlibat dalam proses sehingga perbaikan hubungan dapat terlaksana, ada yang menganggapnya sebagai pengungkapan rasa syukur oleh pihak yang bersalah sebab ia telah diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya, ada yang melihatnya sebagai pernyataan kesediaan dari pihak yang bersalah untuk berkorban demi perbaikan hubungan yang telah rusak karena perbuatannya, dan ada yang memahaminya sebagai wujud 'kesaksian kepada roh-roh orangtua yang telah meninggal' bahwa acara itu telah dilakukan untuk sampai kepada puncak dari seluruh acara yaitu pembersihan kesalahan atau perbaikan hubungan yang akan dilaksanakan pada besok hari. Istilah dalam bahasa Toraja untuk acara ini adalah dipessa'bian lako tomatua kumua diolami alukna na la lambi'mo lako kasu'pikanna
Acara puncak dari kegiatan ini disebut pa'todingan, istilah yang biasa digunakan oleh orangtua zaman dulu untuk menyebut ritus yang sama dengan pemahaman baptisan kudus dalam agama Kristen jika acara itu dilakukan bagi anak-anak, yaitu bahwa anak yang di-toding dioles keningnya dengan darah babi yang dikorbankan sebagai tanda bahwa dia telah dipersatukan dengan Sang Pencipta. Acara pa'todingan dalam kasus ini dipahami sebagai perbaikan hubungan antara kedua keluarga yang telah rusak hubungannya dan perbaikan hubungan suami isteri dalam kedua rumah tangga serta perbaikan hubungan pihak yang bersalah dengan seluruh warga dan keluarga. Babi yang dikorbankan adalah minimal bai sangleso. Sangleso adalah sebutan untuk pembagian binatang (harga atau hak kepemilikan) sebesar seperdelapan. Bai sangleso mengacu pada babi yang harganya sama dengan seperdelapan tedong tarinan, kerbau ukuran paling kecil yang sudah layak jual -- kerbau yang tidak lagi menyusu pada induknya. Berikut sebutan pembagian binatang (biasanya lebih banyak mengacu kepada kerbau) di daerah kasus ini berlaku adalah: sese untuk seperdua, tepo untuk seperempat, leso untuk seperdelapan, daluk untuk seperenam belas, bidang untuk sepertiga puluh dua dan apa' untuk seperenam puluh empat. Di depan dari istilah ini biasanya ditambahkan bilangan sesuai besaran yang untuknya seseorang mendapat bagian dan satu bagian disebut dengan sang; sangleso arinya satu per empat bagian, pitung daluk artinya tujuh/enam belas bagian. Di tempat lain urutan pembagian binatang hanya sampai sepertiga puluh dua dengan sebutan urutan pembagian: sese, tepo, leso, daluk, kapiu'.
Setelah putus dengan ketentuan adat ma'bai tallu, sebuah usul dikemukakan juga untuk dipertimbangkan oleh peserta pertemuan mengenai acara pa'buttuan sebab laki-laki yang terlibat dalam masalah adalah seorang anggota majelis. Pa'buttuan adalah acara penyucian diri yang dilakukan oleh pemangku di bidang agama (pebawa aluk) dengan mengorbankan babi belang di bukit atau gunung jika ia melakukan kesalahan. Babi untuk acara ini tidak boleh terlalu kecil dan hanya ditanggung oleh pebawa aluk itu sendiri.
Usul ini ditolak dengan alasan bahwa pebawa aluk pada masa sebelum orangtua mengenal kekristenan dan jabatan majelis pada masa sekarang adalah berbeda: pebawa aluk pada zaman dulu bersifat menetap sebab itu adalah diwariskan turun-temurun berdasarkan garis keturunan (sibawai ia rarana dalam istilah bahasa Toraja) sedangkan majelis adalah jabatan temporer (berjangka) dan setiap orang bisa terpilih untuk jabatan ini jika dilaksanakan pemilihan untuk mengganti majelis pada akhir masa jabatan mereka.
Kembali ke proses percakapan untuk mengambil langkah penyelesaian persoalan yang terjadi dalam masyarakat tentang ma'bai tallu dalam percakapan sore hari seperti yang telah digambarkan di atas. Ada perbedaan pemahaman antara orang-orang tertentu mengenai bagaimana bai tallu itu dibagi di antara kedua pihak yang bersalah; pihak yang bersalah itu adalah laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan yang membuahkan lahirnya anak.
Ada yang mengatakan bahwa babi untuk acara pebabaran pemali ditanggung oleh kedua belah pihak dengan masing-masing menanggung sangsese (setengah bagian), demikian juga babi pada acara pa'tomatuan masing-masing pihak menanggung sangsese, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi dengan pihak laki-laki menanggung tallung tepo (tiga per empat bagian) dan pihak perempuan menanggung sangtepo (seperempat bagian).
Ada juga yang mengatakan bahwa babi untuk acara pebabaran pemali na sisangsesei artinya setiap pihak menanggung setengah bagian, lalu babi untuk acara pa'tomatuan ditanggulangi oleh pihak laki-laki, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi menjadi tallung tepo ditanggung laki-laki dan sangtepo ditanggung perempuan.
Karena adanya perbedaan pendapat orang-orang mengenai tata cara pembagian beban bai tallu itu, maka peserta pertemuan diminta untuk memberi sumbang saran mengenai bagaimana sebaiknya bai tallu itu dibagi di antara dua pihak dengan catatan bahwa selama babi yang dikorbankan ada tiga ekor dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan adat, maka itu tidak melanggar adat dan baiklah pembagiannya diatur secara kekeluargaan.
Menanggapi masukan ini, ada banyak usul yang disampaikan oleh peserta pertemuan; ada yang bersifat memihak pada pihak tertentu tetapi ada juga yang memang benar-benar memikirkan kebaikan bersama. Seorang peserta mengusulkan agar sebaiknya tiga babi itu masing-masing ditanggung sangsese oleh pihak laki-laki dan perempuan pada tiga jenis pengorbanan yang akan berlaku mempertimbangkan bahwa setiap acara menggunakan babi yang berbeda ukurannya (berarti juga berbeda harga). Usul ini dikemukakan dengan pertimbangan bahwa persoalan yang terjadi itu adalah kesalahan kedua belah pihak dan dengan cara itu maka beban juga akan seimbang antara pihak laki-laki dan perempuan. Suara lain yang sepertinya memihak adalah usul supaya pembagian babi itu adalah bahwa babi untuk pebaran pemali ditanggulangi oleh laki-laki, pa'tomatuan ditanggulangi oleh perempuan dan pa'todingan dibagi dengan tallung tepo untuk laki-laki dan sangtepo untuk perempuan.
Dari percakapan yang tidak bisa bertemu itu, akhirnya suara terbanyak lebih memilih untuk mengikuti pembagian: babi pebabaran pemali na sisangsesei artinya setiap pihak menanggung setengah bagian, babi untuk acara pa'tomatuan juga na sisangsesei, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi menjadi tallung tepo ditanggung laki-laki dan sangtepo ditanggung perempuan. Alasan pembagian yang tidak seimbang pada babi yang dikorbankan pada acara pa'todingan adalah karena selalu ada anggapan bahwa dalam kasus seperti yang dibahas saat itu, kesalahan laki-laki selalu lebih besar.
Setelah keputusan itu ditetapkan, maka pihak keluarga perempuan yang ditunggu telah sampai ke lokasi tetapi mereka berkumpul di rumah anggota keluarga mereka. Mereka terus ditunggu untuk hadir ke rumah ketua RK tetapi mereka tidak kunjung datang. Melihat situasi ini, seorang dari peserta pertemuan diminta untuk menyampaikan keputusan pertemuan kepada mereka yang ditolak oleh keluarga pihak perempuan. Mereka meminta supaya pihak perempuan hanya menanggung sangtepo dari setiap babi yang akan dipakai dalam acara ma'bai tallu itu.
Pembicaraan antara tua-tua kampung dan keluarga pihak perempuan dilaksanakan hampir sepanjang malam dan akhirnya keputusan akhir yang disepakati ketika hari hampir pagi adalah: babi untuk acara pebabaran pemali na sisangsesei artinya setiap pihak menanggung setengah bagian, lalu babi untuk acara pa'tomatuan ditanggulangi oleh pihak laki-laki, dan babi untuk acara pa'todingan dibagi dengan tallung tepo ditanggung laki-laki dan sangtepo ditanggung perempuan.
Ada masukan bahwa jika kedua pihak ini melakukan lagi pelanggaran yang sama, maka kepada mereka akan dilakukan hukum adat yang lebih berat yaitu dengan mengorbankan seekor kerbau untuk pebabaran pemali dengan setiap pihak menanggung sangsese; ditambah tiga ekor babi yang besarnya minimal bai sangleso yang setiap ekornya ditanggung sangsese oleh setiap pihak. Ketiga babi itu akan dipakai untuk acara pa'tomatuan mengorbankan seekor babi, acara pa'todingan mengorbankan seekor babi, dan acara ma'burake (pesta sukacita bagi masyarakat setelah kehidupan yang rusak diperbaiki) mengorbankan satu ekor babi.
Ketika acara ma'bai tallu dilakukan, ibadah kristiani dilaksanakan dalam acara pa'todingan. Setelah ibadah dilaksanakan, dua keluarga saling bersalaman tanda selesainya permasalahan di antara mereka.
Masih diharapkan (tetapi tidak bersifat mengikat) bahwa kedua keluarga ini masih akan melakukan acara mappori dapo' (memperbaiki ikatan rumah tangga) dan karena mereka akan dikenahi aturan gerejawi (siasat) yang menyebabkan terbatasnya pelayanan gereja hanya untuk menerima pastoral/bimbingan rohani kepada mereka, maka hal itu akan mereka lakukan setelah mereka membawa diri mereka untuk mengakui kesalahan mereka di depan jemaat sehingga siasat mereka dibuka.
Sampai di sini selesailah ulasan tentang ma'bai tallu tetapi masih ada catatan kecil yang perlu dituliskan sebagai penutup tulisan ini. Tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa penulis mengetahui setiap hal mengenai adat-istiadat tetapi ini dimaksudkan untuk menjadi catatan untuk merenungkan budaya secara mendalam demi lebih memahami kehidupan dan tata kehidupan yang baik untuk dikembangkan demi menunjang hidup yang tertata baik untuk mendatangkan damai sejahtera dalam kehidupan manusia.
Disebutkan bahwa adat ma'bai tallu adalah aturan adat yang menempati posisi teringan atau kedua teringan dalam kasus penyelewengan kehidupan berumahtangga; teringan jika dilakukan oleh pihak yang sama-sama telah berumahtangga dan kedua teringan jika dalam perusakan rumah tangga orang lain, seperti yang akan disebutkan selanjutnya dalam paragraf berikutnya. Hukum adat itu tergantung pada kasta orang yang melakukan pelanggaran, makin tinggi kastanya, makin berat pula hukumannya; ada adat ma'bai lima (mengorbankan lima ekor babi), ma'bai pitu (mengorbankan tujuh ekor babi), mungkin ada lagi yang lainnya dan tergantung pada bagaimana pelanggaran terjadi.
Susunan kasta (tana' dalam bahasa Toraja) dalam masyarakat Toraja, dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah tana' koa-koa, tana' karurung, tana' bassi, dan tana' bulawan. Tana' koa-koa adalah para hamba, tana' karurung adalah orang kebanyakan, tana' bassi adalah mereka yang punya hamba tetapi tidak mempunyai pengaruh dalam memutuskan perkara yang terjadi dalam masyarakat, tana' bulawan adalah bangsawan yang menguasai segalanya.
Dalam keseharian masyarakat saat ini, tana' tidak lagi secara kaku mengatur kehidupan bersama tetapi tetap akan nampak dalam perkara-perkara seperti yang dituliskan dalam uraian pendek ini.
Masih dalam percakapan dalam proses penyelesaian masalah dalam kasus yang telah disebutkan dalam tulisan ini, terungkap bahwa jika yang melakukan pelanggaran serupa adalah seorang pemuda kepada isteri sesamanya, maka masalahnya bisa selesai dengan anak muda itu melakukan acara mappori dapo' dimana pemuda itu mengakui kesalahan dan mengikat kembali hubungan rumahtangga yang dirusakkannya dengan mengorbankan seekor babi. Bagaimana hubungan kasta dan pemberlakuan hukum adat mappori dapo' dalam kasus seperti ini belum diketahui oleh penulis.
Tetapi juga berdasarkan pengalaman, maka ada cerita bahwa pernah terjadi seorang pemuda menghamili isteri sesamanya dan berlaku adat pebabaran pemali dengan mengorbankan seekor kerbau yang diusahakan oleh laki-laki tetapi juga turut ditanggung sangtepo oleh perempuan dan pa'todingan dengan mengorbankan babi sesuai standar yang telah disebutkan di atas yang diusahakan oleh perempuan tetapi laki-laki turut menanggung sangsese.
Demikian seluruh yang dapat dituangkan dalam tulisan ini dengan harapan bahwa ini bisa membantu masyarakat setempat untuk mengetahui budaya warisan orangtua sehingga mereka memegangnya menjadi patokan atau supaya tidak menjadi perdebatan lagi pada masa yang akan datang jika terjadi hal yang sama; tentu saja diharapkan bahwa itu tidak terjadi, tetapi sebagai manusia yang selalu bisa 'salah', maka apa yang telah dilakukan dalam kasus yang dituangkan di sini dapat menjadi patokan. Bagi setiap orang yang memperoleh kesempatan untuk membaca tulisan ini, kiranya dapat menjadikannya bahan untuk memikirkan bagaimana budaya dapat menjadi patokan manusia dan bagaimana manusia bersikap atas budaya.
Sebuah nasihat yang muncul dalam proses penyelesaian masalah yang dibahas di atas berkata: manusia memang bisa tersandung dan atau jatuh tetapi hanya orang bodohlah yang tersandung dan atau jatuh pada batu atau lubang yang sama menjadi anak kunci untuk menutup lembaran ini.