Di sebuah rumah sederhana, sepasang kakak-beradik tinggal bersama. Musim hujan datang lebih awal tahun itu. Suatu malam, si adik melihat langit-langit kamarnya meneteskan air. Bocor kecil.
Ia bilang pada kakaknya, "Kita harus betulkan ini." Tapi si kakak menjawab, "Nanti saja. Toh cuma netes. Kita tunggu hujan reda dulu."
Hari-hari berlalu. Tetes itu makin deras. Lalu muncullah bercak cokelat di dinding. Tapi tetap tak ada yang bergerak. Bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak enak hati menegur lagi. Takut dibilang bawel, takut memperkeruh suasana.
Beberapa minggu kemudian, atap benar-benar runtuh. Malam itu hujan deras, dan air mengguyur habis isi kamar si adik. Kasur basah. Buku-buku rusak. Listrik korslet.
Setelah semuanya berlalu, si adik hanya berkata, "Aku dulu sudah bilang…"
Dan si kakak menunduk, menyesal. Bukan karena bocor itu tak terlihat. Tapi karena mereka membiarkannya --demi menghindari konflik kecil… dan akhirnya menghadapi kerusakan besar.
Banyak orang memilih diam bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak ingin memperkeruh keadaan. Kita pikir, "Kalau aku bicara, nanti malah jadi ribut." Maka kita tahan mulut kita, biarkan masalah kecil berjalan dengan harapan akan selesai sendiri.
Tapi seperti di dalam cerita, membiarkan kebocoran kecil tanpa tindakan bukan menjaga damai, tapi menunda kerusakan. Dan kerusakan itu bisa lebih besar dari keberanian yang dibutuhkan untuk menegur dengan kasih.
Tuhan tidak memanggil kita untuk jadi pengamat pasif atas kerusakan kecil dalam hidup, keluarga, pelayanan, atau sesama kita. Ia mengajar kita untuk bicara dalam kasih, bertindak dalam tanggung jawab, dan menegur dalam roh yang benar.
Damai sejati bukan berarti tak ada suara. Damai sejati adalah keberanian untuk berkata benar dengan kasih, sebelum semuanya runtuh karena terlalu lama dibiarkan.
----
Sumber:
Copy paste dari aplikasi: Renungan dan Ilustrasi Kristen; 24 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar