Di sebuah perkampungan, dua keluarga hidup berdampingan. Salah satunya baru saja membuka usaha katering kecil. Pesanan makin hari makin banyak. Mobil pengantar makanan datang silih berganti.
Tetangga sebelah hanya mengamati dari balik jendela. Hatinya mulai gelisah. "Dulu kita sama-sama susah. Sekarang dia bisa membeli motor baru, bisa renovasi rumah. Kenapa bukan aku?"
Setiap pagi, ia pura-pura tersenyum saat berpapasan. Tapi begitu pintu rumahnya tertutup, ia mencibir, "Pasti dia curang. Mana mungkin cepat kaya."
Suatu malam, ia menulis pesan tanpa nama. Kertas itu berisi tuduhan bahwa usaha katering tetangganya memakai bahan kadaluwarsa. Ia selipkan di pagar rumah tetangganya.
Pagi harinya, kabar itu menyebar. Beberapa pelanggan membatalkan pesanan. Pemilik usaha katering menangis di dapur, bingung bagaimana membuktikan semua tuduhan itu tidak benar.
Namun seorang pelanggan setia bersikeras datang melihat sendiri dapur mereka. Setelah memeriksa, ia berkata lantang di depan warga yang berkumpul, "Semua bersih. Ini fitnah."
Saat orang-orang membela pemilik katering, pandangan mulai beralih ke rumah tetangga yang menutup rapat jendelanya. Beberapa warga ingat siapa yang sering mengeluh iri.
Malam itu, tetangga itu duduk sendiri di ruang tamu yang gelap. Ia sadar: tak ada kebahagiaan yang datang dari iri hati, hanya rasa malu dan kehilangan kepercayaan orang lain.
Iri hati jarang muncul tiba-tiba. Ia mulai pelan... dari membandingkan diri, lalu meremehkan keberhasilan orang lain. Lama-lama, hati menjadi gelisah, ucapan menjadi sinis, dan akhirnya mendorong tindakan yang merugikan sesama.
Firman Tuhan tidak pernah menganggap enteng iri hati. Iri hati mengikis sukacita, merusak relasi, dan membuat kita lupa pada berkat yang sudah kita terima. Bahkan, kita rela menuduh dan memfitnah demi menutupi rasa rendah diri.
Tuhan ingin kita bersyukur atas apa yang kita punya, bukan sibuk mencurigai atau menjatuhkan orang lain. Ketika kita belajar ikut bersukacita atas keberhasilan sesama, hati kita akan lebih ringan, damai, dan penuh sukacita yang tulus.
Hari ini, mari minta pertolongan Tuhan untuk menyingkirkan iri hati. Karena kebahagiaan sejati tidak pernah lahir dari membandingkan diri, tetapi dari hati yang bisa mengucap syukur apa adanya.
"Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang." (Amsal 14:30)
---
Sumber: Copy paste dari Aplikasi Renungan dan Ilustrasi Kristen; 3 Juli 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar