Sebagai pendahuluan tulisan ini, pertama-tama dikemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dalam kaitan dengan itu, maka manusia memerlukan tatanan hidup bersama agar manusia dapat saling berbagi, saling mendukung, saling mengisi dalam kehidupan secara tertib dan aman. Kehidupan yang aman dan tertib itu juga terkait dengan alam di mana suatu masyarakat berada. Untuk tatanan itu, maka timbullah pemikiran-pemikiran yang kemudian dipakai secara bersama berdasarkan kesepakatan bersama sebagai patokan untuk melakukan segala kegiatan dalam kebersamaan dengan orang lain.
Selain menjadi patokan untuk melakukan kegiatan bersama, patokan itu juga menjadi nilai yang mendorong setiap pribadi untuk bertindak dalam kehidupan pribadinya, menjadi penentu cara berpikir, menjadi nilai yang digunakan untuk membina kehidupan dalam interaksi dengan orang lain. Pendeknya menjadi penentu karakter pribadi dalam masyarakat.
Catatan yang telah dikemukakan di atas, hendak memperlihatkan bahwa dalam kehidupan manusia, ada empat komponen yang saling terkait antara yang satu dengan yang lain, yaitu pribadi, masyarakat, alam, dan nilai (patokan, aturan/norma atau apalah namanya. Selanjutnya hanya akan dipakai istilah ”nilai”). Selain empat komponen yang telah disebutkan, masih ada satu komponen lain lagi yang belum disebutkan tetapi pasti selalu ada dalam setiap masyarakat, yaitu bahwa masyarakat dan pribadi dalam menjalani hidup berdasarkan nilai yang disepakati bersama itu menyesuaikannya dengan kuasa yang berada di luar manusia, katakanlah yang transenden.
Jadi, dapat dilihat bahwa ada keterikatan antara pribadi dan masyarakat, antara pribadi dan nilai, antara masyarakat dan nilai, antara manusia (pribadi dan masyarakat) dengan alam. Dan, tentu saja ada keterkaitan antara semuanya dengan yang transenden. Dalam kesalingterkaitan itulah manusia mengenal istilah budaya dan agama.
Karena itu, adalah sangat sulit untuk melihat bahwa ada pengertian agama yang terlepas dari budaya dan sebaliknya sulit untuk memahami pengertian budaya terlepas dari agama. Ada tumpang tindih antara kedua pengertian tersebut. Sebagai contoh tumpang tindih tersebut dapat dikemukakan dalam definisi agama menurut etimologi dan definisi budaya menurut Bekker; secara etimologi, agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari a – tidak dan gama – kacau, jadi agama artinya tidak kacau (etimologi ini masih menjadi polemik, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju). Dalam pengertian ini ada unsur tertib dan aman dan pastilah bahwa dalam agama nilai yang utama adalah hubungan manusia dengan yang transenden. Bekker menyebut hakikat kebudayaan adalah penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani, atau dengan kata lain budaya adalah ”man humanizing himself in humanizing the world around him” (Filsafat Kebudayaan, 2005. Hal. 22). Kalau agama didefinisikan sebagai kepercayaan manusia kepada Tuhan (Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994. Hal. 9.), maka itu berarti bahwa agama adalah bagian dari budaya tetapi kalau dilihat bahwa agama itu adalah jiwa masyarakat (pendapat Emile Durkheim), maka berarti bahwa agama adalah sejajar, kalau tidak lebih tinggi dari budaya. Dalam tumpang tindih pengertian antara agama dan budaya kemudian dikenal istilah agama samawi – yang berasal dari Allah dan agama wadi – agama budaya (Kamus Ilmiah Pupoler. Hal. 10) sehingga semakin sulit untuk memahami apa itu agama dan apa itu budaya. Tetapi yang jelas bahwa agama maupun budaya adalah tempat di mana manusia dapat memperoleh nilai yang menjadi patokan untuk menjalani hidup sebab baik agama maupun budaya berbicara tentang hal yang sama, yaitu bagaimana manusia menjadi rohani dalam hidup yang tidak kacau di alam ini dan di hadapan yang transenden. Di dalam agama dan di dalam budaya manusia berbicara tentang manusia, alam, dan tentang yang transenden.
Catatan pendahuluan di atas kiranya menjadi perhatian dalam rangka mempertemukan agama khususnya agama Kristen (baca: gereja) dan budaya di mana Injil diberitakan oleh gereja. Disadari atau tidak kita sering melihat bahwa agama Kristen lebih tinggi dari budaya sebab kita berbicara tentang transformasi budaya kalau yang dimaksudkan adalah bahwa budaya diubah bentuknya dan disesuaikan dengan injil tetapi kalau sebaliknya kita kadang melihatnya sebagai sinkretisme. Marilah kita berpikir bahwa pada saat terjadi transformasi budaya itu juga adalah transformasi injil sebab injil dipahami dalam budaya setempat.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana melihat Injil yang utuh tanpa budaya dan sepertinya itu tidak mungkin sebab ketika Injil itu hadir melalui pelayanan Yesus, ia dipahami dalam budaya Yahudi dan mendapatkan bentuknya dalam budaya tersebut, lalu ia (injil itu) kemudian mendapat bentuk dalam budaya Yunani dan selanjutnya mendapat bentuk dalam budaya Barat. Injil yang sampai kepada kita adalah injil yang telah mendapatkan bentuk dalam budaya-budaya itu. Karena itu kita mengalami kesulitan sebab injil yang sampai kepada kita telah memperoleh bentuk (dibungkus) oleh tiga budaya yang telah disebutkan sehingga kita harus belajar untuk melihat setiap bungkusan itu ketika injil itu sampai kepada kita, dan tugas itu mungkin telah kita lakukan dalam hermeneutik.
Hermeneutik tidak boleh berhenti pada melihat bungkusan budaya tetapi harus dilanjutkan dengan bagaimana injil itu bisa dibungkus dengan budaya kita di sini. Dan ini berarti bahwa kita harus belajar untuk melihat nilai inti yang dibalik bungkusan itu untuk kita pahami dalam budaya kita di sini, katakanlah bagaimana inti injil yang berisi kasih kepada Tuhan dan sesama yang di dalamnya ada pengampunan, kesetiaan, ketaatan dan lain-lainnya dapat hidup untuk kita di sini yang mempunyai budaya sendiri dari budaya mereka yang telah lebih dahulu mengalami injil dan membungkusnya dengan budaya mereka sendiri kemudian diwariskan kepada kita di sini.
Kita harus sadar bahwa kita yang di sini adalah manusia yang karakternya (baik secara pribadi maupun kehidupan sosial) adalah warisan budaya kita di sini dan bahwa agama Kristen (baca: Injil) adalah warisan yang kita terima dari budaya lain sehingga kita mampu untuk bertanya bagaimana warisan dari budaya lain itu dapat saya pahami dari budaya saya sendiri ataukah kita harus berusaha untuk menerima injil lengkap dengan bungkusannya. Adalah lebih bijaksana untuk memilih bahwa kita harus memahami injil dalam budaya kita sendiri sebab budaya kita adalah hidup kita sendiri; ada yang menyebut budaya sebagai the second nature of human. Untuk bisa melakukan ini, kita harus belajar untuk melihat nilai-nilai injil yang ada dalam budaya kita sebaliknya berusaha untuk melihat mana nilai-nilai budaya kita yang harus diubah oleh injil. Injil bukanlah di atas budaya kita tetapi ada dalam budaya kita dan sebaliknya budaya kita tidaklah di atas injil tetapi di dalam injil. Dengan memahami ini kita bisa hidup dalam budaya kita yang selalu berhubungan dengan injil tanpa ada yang merasa menang tetapi saling membangun dan akhirnya kita menjadi manusia rohani oleh budaya dan oleh agama. Budaya kita di dalam agama Kristen dan agama Kristen (baca: injil) kita dipahami dalam budaya kita.
Harapan kita bahwa semuanya ini mengajarkan kepada kita untuk menjadi rendah hati dalam budaya dan agama kita dan tidak membuat agama dan budaya saling menghakimi sehingga kita sendiri hidup dalam pertikaian yang membuat kita tidak bisa hidup mewarisi baik agama maupun budaya kita. Semoga agama dan budaya bisa terus diwariskan tanpa ada yang hilang karena dihilangkan oleh yang satu; tidak ada transformasi budaya (atau mungkin sinkretisme) yang merugikan budaya maupun injil.
Tujuan akhir kita adalah bahwa hidup kita adalah warisan dari agama dan budaya kita dan bahwa tanggungjawab kitalah untuk membuat generasi mendatang hidup mewarisi dan dibentuk (menjadi warisan) agama dan budaya. Kita adalah warisan budaya dan agama yaitu agama yang ada dalam budaya dan budaya yang ada dalam agama.
Tulisan ini adalah sebuah karya ketika masih kuliah di UKIT
Total Tayangan Halaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
MENERUSKAN KEBAIKAN
Kamis, 14 Nopember 2024 Renungan Pagi Amsal 3:27 Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau ma...
-
PERSAUDARAAN YANG RUKUN Sungguh alangkah baik, alangkah baik dan alangkah indah; Alangkah baik, alangkah baik. Sungguh alangkah baik, alangk...
-
Jumat, 7 Juli 2023 Renungan Pagi Yohanes 1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. TERANG MANUSIA Hidup adalah sesuatu y...
-
KERANGKA KHOTBAH BULAN FEBRUARI 2019 Minggu, 03 Februari 2019 Bahan Khotbah Ibadah Hari Minggu Bacaan Alkitab: Yeremia 1:4-10; Maz. 71:1-...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar