Total Tayangan Halaman

Rajin Pangkal Pandai

Rajin Pangkal Pandai

(Bangaran Pasamboan)

Rajin pangkal pandai adalah salah satu dari beberapa ungkapan (pepatah) pertama yang diketahui ketika memasuki bangku Sekolah Dasar (SD). Secara umum, pepatah ini dimengerti oleh orang termasuk mereka yang bergelut di bidang pendidikan dengan menambahkan satu kata ke dalamnya sehingga berbunyi Rajin belajar pangkal pandai. Dengan demikian, kebalikan dari pepatah ini adalah malas belajar berarti membiarkan diri menjadi bodoh.

Benarkah bahwa pepatah ini mengacu pada soal kerajinan belajar?
Orang yang sedang menggeluti dunia pendidikan, adalah mereka yang diharapkan dan/atau mengharapkan agar kelak mereka memperoleh pekerjaan yang baik; sedapat mungkin pekerjaan itu sesuai dengan tingkat pendidikan dan/atau bidang (disiplin ilmu) yang mereka pelajari.
Saya adalah orang yang termasuk gagal untuk mewujudkan harapan ini; bagaimana tidak, saya adalah STM jurusan Teologi. Supaya tidak membingungkan, baiklah saya sedikit berbagi kisah hidup saya.
saya adalah anak Sekolah Teknik Mesin (STM), masih akrab saya kenal demikian, meskipun ketika masuk jenjang sekolah ini pada tahun 1994 pendidikan jenis ini mengalami perubahan nama menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Teknologi dan Pembangunan sementara Sekolah Menengah Atas (SMA) berubah nama menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) berubah nama menjadi Sekolah Menengan Kejuruan (SMK) Bisnis dan Manajemen. Jenjang yang di bawahnya, yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) berubah nama menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Ketika masih kecil, saya bercita-cita jadi pendeta. Tetapi suatu hari ketika saya datang ke Ujungpandang (sekarang Makassar), saya kagum melihat om saya yang STM Jurusan Elektro sedang memperbaiki beberapa radio dengan hanya satu kali men-cuk kabel ke sumber listrik dan bisa memperbaiki beberapa radio sekaligus. Saya menyatakan bahwa saya juga ingin melakukan hal yang sama kalau besar nanti, maka Ayah saya, John M. P. berkata: "Bagaimana dengan cita-cita tuk jadi pendeta?" Om menimpal bahwa tidak masalah sebab orang dari STM bisa masuk sekolah kependetaan kalau sudah lulus. Saya yang belum mengerti tentang hal itu karena masih kecil merasa senang mendengarnya. Jadilah cita-cita saya dilengkapi menjadi pendeta yang bisa memperbaiki radio.

Ketika tiba waktunya masuk STM, saya tiba di Ujungpandang sedikit terlambat sehingga saya masuk ke STM yang tidak ada Jurusan Elektronya. Saya masuk ke sekolah yang terhitung baru dibuka -- saya dan teman-teman sekelas adalah angkatan kedua di sekolah itu.

Meskipun terhitung pintar pada masa sekolah (selalu mendapat rangking setiap semester, pernah rangking pertama), keadaan membuat saya tidak menjadi ahli mesin. Saya selesai pada tahun 1997 dan tahun itu mulailah Indonesia mengalami masa-masa yang sulit; Demonstrasi mahasiswa untuk menunurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan terjadi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi pada hampir setiap lapangan pekerjaan, nilai uang merosot dan biaya hidup terasa sangat melonjak.
Saya melamar pada beberapa bengkel untuk melanjutkan cita-cita; cari uang sendiri untuk kuliah pun tidak dapat terpenuhi sebab semua lamaran dijawab dengan: 'nanti kalau kami membutuhkan tenaga kerja, saudara akan dihubungi'; 'kami akan mengumumkan melali surat kabar kalau kami membutuhkan karyawan'; 'terserah pada saudara, apakah lamarannya ditinggalkan saja untuk dihubungi kalau kami membutuhkan tenaga kerja baru atau dibawa pulang dan nanti diantar lagi kalau kami mengumumkan melalui koran'. Seakan harapan terputus pada masa itu dan tidak mungkin untuk berharap banyak dari orangtua yang sedang membangun kehidupan di tempat transmigrasi (Tobadak V Mamuju). Mereka baru berada di tempat itu selama tiga tahun; mereka berangkat ke tempat itu sebulan setelah saya tiba di Makassar untuk melanjutkan pendidikan di bangku STM. Alasan ini juga yang membuat kakak saya hanya bisa tammat pada bangku SMP dan adik pertama saya hanya tammat pada bangku SD.

Singkat cerita, akhirnya saya dapat melanjutkan pendidikan setelah empat tahun menganggur dari dunia pendidikan formal ke jurusan yang memang saya cita-citakan dari awal yaitu menjadi pendeta.
Saat ini, saya adalah seorang tammatan STM jurusan mesin (Automotif) yang tidak bisa memperbaiki mesin; kalah dari banyak orang yang tidak pernah belajar di sekolah 'mesin' tetapi ahli memperbaiki mesin karena pengalaman.

Semoga catatan pengalaman pribadi di atas sudah memberi sedikit gambaran yang hendak dicapai dalam tulisan ini. Rajin pangkal pandai adalah ungkapan yang harusnya pertama-tama dimengerti dalam pengertian bahwa bekerja adalah belajar. Orang yang rajin bekerja adalah orang yang sedang mempelajari apa yang dia kerjakan dan akan mengetahui apa yang dikerjakannya. Itulah sebabnya banyak orang yang ahli pada bidang yang tidak dia pelajari di dunia pendidikan formal tetapi diketahuinya karena pengalaman kerja. Untuk memahami lebih jauh ungkapan Rajin Pangkal Pandai, maka seharusnya diketahui bahwa itu ada kaitannya dengan kemampuan menjadi pandai dalam dunia pendidikan formal. Otak manusia adalah organ yang seharusnya dilatih untuk bisa melakukan tugasnya dengan baik. Orang yang bekerja pastinya berpikir supaya pekerjaannya dapat selesai dengan baik, tidak menyebabkan pekerjaan lain, bagaimana supaya pekerjaan itu tidak melelahkan dan sebagainya. Di sekolah otak dilatih untuk berpikir dengan memberikan soal-soal laihan dan kemampuan otak untuk melakukan tugasnya diuji dengan mengerjakan soal yang bahannya adalah dari seluruh bahan ajar yang telah dipelajari.


Sampai di sini, terlihat bahwa ada dua cara untuk melatih otak agar dapat melakukan tugasnya yaitu berpikir; 1. Dilatih dengan terus-menerus memberikan bahan (= masalah/soal) untuk dipikirkan, dan 2. pengulangan, sesuatu yang berulang-ulang dipikirkan akan mengambil tempat tertentu dalam ingatan otak sehingga diketahui. Pokok kedua inilah yang menyebabkan orang mengenal ungkapan 'ala bisa karena biasa' ~ seseorang tahu caranya karena ia biasa (baca: telah berulang-ulang) melakukannya.

Orang yang rajin membaca (dipahami banyak orang sebagai tindakan belajar) tetapi tidak melatih otaknya untuk memahami apa yang dibacanya adalah orang yang tidak akan menjadi pintar. Orang yang rajin bekerja tetapi tidak melatih otaknya untuk menjadi pintar adalah mereka yang tidak akan mencapai kemajuan dalam mengerjakan apa yang dikerjakannya.
Orang yang rajin (bekerja dan belajar) adalah ciri-ciri orang pandai. Rajin itu baru pangkalnya dan kesempurnaannya adalah rajin bekerja dan belajar. 'Bekerja' adalah tujuan belajar tetapi belajar juga membutuhkan 'bekerja'. Semakin sulit untuk memahaminya, selamat melatih otak untuk memahami tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENERUSKAN KEBAIKAN

Kamis, 14 Nopember 2024 Renungan Pagi Amsal 3:27 Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau ma...