Catatan Kecil Perayaan Seabad INJIL MASUK MAMASA
(Bangaran Pasamboan, S.Th.)
Segala puji syukur kepada Allah yang adalah pemilik segala sesuatu yang telah memberkati Gereja Toraja Mamasa sehingga pada tahun 2013 merayakan 100 Tahun Injil Masuk Mamasa, tepatnya menunjukkan kurun waktu antara 12 Oktober 1913 sampai 12 Oktober 2013 dimana 12 Oktober 1913 adalah tanggal yang ditetapkan sebagai masuknya injil ke Mamasa karena pada waktu itulah Kyftenbelt untuk pertama kalinya melakukan baptisan bagi delapan puluh orang Toraja Barat di daerah Mamasa dan Messawa, W. A. van der Klis: Datanglah Kerajaan-Mu, hlm. 22. Meski sebenarnya bahwa Injil masuk ke Toraja Barat, jika yang dimaksudkan adalah ketika ada orang yang benar-benar menerima Injil Yesus Kristus, mungkin lebih kemudian (tidak dapat ditentukan waktu pasti) dari tanggal 12 Oktober 1913 sebab baptisan pertama itu belum merupakan penerimaan sepenuh hati orang Toraja Barat terhadap Injil Yesus Kristus, mereka melakukan itu hanya karena keterpaksaan yang terkait politik, W. A. van der Klis: Datanglah Kerajaan-Mu, hlm. 23.Injil masuk Mamasa pertama disampaikan oleh Indische Kerk, kemudian dilanjutkan oleh Zendings Christelijk Gereformeerde Kerken dan inilah cikal bakal berdirinya Gereja Toraja Mamasa, sehingga dalam tulisan ini akan banyak bicara tentang Gereja Toraja Mamasa sebagai buah dari Injil yang kita terima seratus tahun yang lalu.
Tulisan dalam rangka ungkapan syukur untuk perayaan ini diinspirasi oleh kata-kata Pdt. R. M. Thumo’ yang disampaikan oleh seorang pendeta ketika dilakukan ibadah di gedung gereja Jemaat Ebenhaezer-GTM untuk mengantar jenazah Pdt. R. M. Thumo, yang meninggal dunia di Makassar, ke kampung halaman. Tidak ingat waktu pastinya tetapi antara waktu saya masih duduk di bangku Sekolah menengah tingkat atas (tammat pada tahun 1997) sampai pada masa sebelum saya kuliah yang dimulai pada tahun 2001. Dalam kesempatan itu pendeta tersebut mengisahkan bahwa dalam sebuah sidang sinode Gereja Toraja Mamasa, ia dan Pdt. R. M. Thumo’ tinggal bersama di rumah salah seorang warga jemaat yang dijadikan tempat penginapan (di antara banyak rumah warga jemaat yang biasanya dijadikan tempat penginapan dalam setiap acara seperti itu, penulis); pada suatu malam sebelum tidur, Pdt. R. M. Thumo, yang sudah tua pada waktu itu, berkata: ”Saya mohon jangan katakan hal baik yang kau lihat padaku tetapi katakanlah yang masih kurang supaya saya bisa memperbaikinya pada masa yang akan datang”. Pendeta tersebut melanjutkan bahwa ia kesulitan memenuhi permintaan Pak R. M. Thumo’ untuk menyampaikan kekurangan-kekurangan pada diri dan pelayanan yang telah dilakukan oleh Pdt. R. M. Thumo’ karena ia memang menemukan Pak R. M. Thumo’ sebagai pribadi yang patut diteladani sejauh yang ia alami dalam kehidupan bersama dengan Pak R. M. Thumo’ yang dianggapnya sebagai orangtua.
Melalui kisah ini ada dua hal yang dapat kita harapkan sebagai anak dari orangtua kita yaitu Gereja Toraja Mamasa: Pertama, kita berandai-andai bahwa alangkah indahnya jika kita tidak lagi menemukan kekurangan pada diri orangtua kita yang secara umur memang sudah tua tetapi setiap bagian yang ada dalam lingkup Gereja Toraja Mamasa selalu merasakan indahnya suasana pelayanan, kasih, persekutuan, kesaksian, dan penghayatan iman yang ada dalam kehidupan Gereja Toraja Mamasa baik tingkat jemaat, klasis, dan sinode; juga oleh seluruh lapisan organisasi intra gerejawi yaitu, anak (Sekolah minggu dan remaja), pemuda, dan kaum ibu. Dan pada bagian ini, sumbangan kita sebagai anak (baca: Seluruh warga jemaat) adalah memberi masukan-masukan yang diperuntukkan bagi pertumbuhan Gereja Toraja Mamasa yang lebih baik pada masa depan; sekarang memang sudah baik. Sebagai sebuah masukan, pada kesempatan ini, ketika menyebutkan bagian-bagian organisasi intra gerejawi yang ada dalam Gereja Toraja Mamasa di atas, sebuah kekurangan yang nampak (berdasarkan perbandingan dengan Gereja lain: misalnya Gereja Masehi Injili di Minahasa-GMIM) adalah bahwa belum ada organisasi yang khusus bagi penggalangan kaum bapa agar terlibat dan mendalami tri panggilan gereja secara kategorial. Mungkin inilah yang menyebabkan bahwa di berbagai jemaat kehadiran kaum bapak sangat kecil dalam ibadah-ibadah; ini sebaiknya dipertimbangkan supaya ada pada masa yang akan datang. Kedua, pada sisi sebaliknya, semoga Gereja Toraja Mamasa (baca: Badan Pekerja Majelis Sinode, Badan Pekerja Majelis Klasis, Badan Pekerja Majelis Jemaat dan Pengurus kategorial dari tingkat jemaat sampai pusat) menjadi orangtua yang dalam semangat dan dalam tindakan selalu bersedia memberi diri untuk memperhatikan pembangunan kehidupan seluruh warga jemaat dalam berbagai aspek yang dikelompokkan dalam dua bagian besar, yaitu pembangunan fisik dan pembangunan spiritual. Hal fisik dan spiritual, keduanya sama penting dan saling terkait tetapi yang terutama adalah pembangunan spiritual sebab jika fisik terbangun tanpa pembangunan spiritual, maka hal itu akan menyebabkan kekacauan dan jemaat semakin ditinggalkan sebaliknya pembangunan spiritual akan semakin lebih baik jika pembangunan fisik diperhatikan tetapi seandainya diharuskan untuk memilih manakah yang lebih baik dari pembangunan spiritual tanpa pembangunan fisik atau pembangunan fisik tanpa pembangunan spiritual, tentunya kita akan lebih setuju untuk memilih yang pertama disebutkan tadi.
Kedua harapan yang dikemukakan di atas adalah harapan yang hanya akan terwujud jika kita bisa membangun kebersamaan sebab wujud gereja yang utama adalah persekutuan yang saling berbagi untuk membangun, dan bukan hanya ingin dibantu oleh orang lain agar bisa berdiri tetapi sulit untuk memberikan bantuan bagi orang lain untuk juga turut berdiri. Dengan kata lain, kita berharap pada orangtua kita yang sebenarnya adalah diri kita sendiri di dalam kebersamaan. Ini adalah pengalaman melihat sebuah gereja yang benar-benar memahami arti kebersamaan dalam pembangunan kehidupan bergereja. Jemaat ini berjumlah tiga puluh dua daerah pelayanan, wilayah yang sangat memang luas. Jemaat ini mengambil keputusan bahwa mereka akan membangun sebuah gedung gereja baru yang setelah selesai akan berdiri menjadi jemaat baru yang anggotanya adalah enam belas daerah pelayanan. Mereka, seluruh warga jemaat dari tiga puluh dua daerah pelayanan bersama-sama membangun gedung itu. Secara organisasi mereka mengatur bersama dengan klasis dan sinode bahwa ketika gedung itu sudah selesai dan diresmikan, maka pada waktu itu jugalah berdiri sebuah jemaat baru yang otonom tanpa melalui proses cabang, bakal jemaat, dan peresmian menjadi jemaat yang mana sering pula terjadi bahwa proses itu dimulai dari adanya keretakan hubungan antar anggota jemaat karena berbagai hal. Mengakhiri bagian ini mari kita menghayati dan melakukan firman ini:
- Dari pada-Nyalah seluruh tubuh,
– yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua
bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima
pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih (Efesus 4:16).
Harapan setiap orang ialah bahwa semakin tua seseorang, maka semakin bijaksana dan semakin teguh juga pendiriannya pada hal yang diyakininya sebagai kebenaran. Orang tua tidak akan mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang menyangkut keyakinannya. Kembali kepada pesan bagi penerima surat Ibrani yang dikemukakan di atas, maka dapat dilihat bahwa Gereja Toraja Mamasa juga masih bergumul pada hal-hal yang bersifat dasar dalam kehidupan beriman; baptisan misalnya. Banyak warga Gereja Toraja Mamasa yang belum teguh berpegang pada pendirian bahwa baptisan adalah tanda persekutuan dengan Allah Tritunggal serta materai keselamatan dalam Yesus Kristus dan bukan sebagai syarat untuk mendapatkan keselamatan, sehingga banyak orang yang dibaptis ulang karena mereka menerima baptisan percik pada masa kanak-kanak dan pengaruhi oleh ajaran bahwa orang hanya diselamatkan kalau dibaptis dengan cara diselam; pemahaman sudah berubah dari kepentingan menerima materai keselamatan yang utama kepada pementingan cara pelaksanaan materai itu. Terkait dengan contoh yang disebutkan ini, kegagalan warga gereja untuk memahami hal-hal yang bersifat dasar dalam kehidupan beriman menyebabkan kesulitan untuk memahami hal-hal prinsip dalam kehidupan bergereja. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa ada seorang warga jemaat GTM berpindah aliran kekristenan dan menerima baptisan ulang karena ia merasa tidak senang dan tidak nyaman di dalam jemaat dimana dia terdaftar. Setelah berpindah aliran dia mengatakan bahwa setelah dia benar-benar sudah merasa Kristen setelah menjadi anggota aliran lain. Dalam sebuah acara keluarga ketika hal itu dikatakannya lagi, ada orang yang menanggapinya dengan mengingatkan bahwa satu ajaran yang penting dalam kekristenan adalah ketekunan sebab ketekunan akan menghasilkan tahan uji dan tahan uji mendatangkan pengharapan. Jika orang terus berpindah-pindah aliran berarti tidak tahan uji karena tidak tekun dan dengan demikian ia bukanlah orang yang berpengharapan kepada Yesus Kristus (lihat Kis. 5:1 – 11: penulis). Tanggapan ini membuat orang ini tidak dapat mengatakan apa-apa dan itu membuktikan bahwa ia gagal untuk memahami hal-hal yang bersifat perkembangan iman karena ia gagal menerima hal-hal yang bersifat dasar dalam kehidupan beriman. Dengan kata lain, berpindah aliran akan menyebabkan orang yang berpindah harus merubah pola pandang dalam pemahaman iman dan dengan demikian pemahaman baru sementara ditanam dan jika ia tidak dapat bertahan lama di aliran kemana ia berpindah karena ketidaknyamanan datang lagi menyebabkan ia harus berpindah lagi, maka ketika Yesus datang untuk kali yang kedua dan ia bertanya kepada orang ini: ”Siapakah Aku ini menurut engkau?” akan menyebabkan orang ini kesulitan untuk menjawab sebab tatanan imannya selalu ibarat tanaman muda yang baru mulai berkembang dan dicabut untuk digantikan dengan varian lain dari tanaman sejenis yang juga selanjutnya akan mengalami nasib yang sama, demikian seterusnya.
Injil Yesus Kristus masuk Mamasa sudah seratus tahun, berarti bahwa Injil Yesus Kristus sudah sampai empat atau lima generasi (bahkan lebih) yang mengalaminya dan sudah banyak pengalaman yang dilalui bersama baik yang meningkat maupun yang mengalami kemunduran. Mungkin ada generasi yang bersamaan menerima Injil Yesus Kristus – orangtua dan anak dibaptis bersama – lalu pengalaman itu diteruskan ke generasi selanjutnya. Sampai saat ini, jiwa kita sebagai orang Kristen sepertinya belum meyakini bahwa kita adalah orang yang lahir dari generasi yang beragama Kristen yang lahir dari pekabaran Injil yang kita terima 100 tahun lalu itu. Ini terbukti dari kesadaran banyak orang yang mewarisi banyak segi kehidupannya sebagai orang yang lahir dari agama yang dianut oleh orang tua kita dahulu meski sebenarnya hal itu bertentangan dengan Injil dan sebaiknya diubah untuk disejalankan dengan Injil. Sebagai contoh, sebuah kebiasaan untuk memperbaiki tatanan kehidupan bersama jika ada yang melanggar kekudusan pernikahan di salah satu atau beberapa (untuk tidak menyebut daerah secara spesifik) tempat dalam pelayanan Gereja Toraja Mamasa, misalnya: apabila terjadi hubungan sedarah (incest) dilaksanakan pemotongan kerbau di luar kampung tempat kejadian pelanggaran itu yang dibelah dua dari kepala sampai ekor yang biasa disebut pebabaran pemali dan ketika kerbau itu dipotong disebutkan kalimat uppirik kakadakean lako randanna langi’ – membuang segala kejahatan (bencana yang dipahami sebagai akibat dari kejahatan yang telah terjadi -?-) ke ufuk langit; daging kerbau tersebut tidak bisa dibawa masuk ke kampung dan tidak boleh dimakan oleh rumpun keluarga dari kedua orang yang melakukan pelanggaran. Dari kegiatan ini terlihat pemahaman bahwa penghapusan dosa masih dilakukan berdasarkan pengorbanan hewan ternak dan bukan oleh semangat untuk dengan sepenuh hati mengakui dosa di hadapan Tuhan atau yang lebih baik lagi yaitu menghilangkan dosa dengan mengikuti firman Allah, termasuk: jangan berzinah, dalam seluruh hidup.
Jika pada paragraf sebelumnya kita berbicara tentang hal yang belum kita capai dan masih perlu untuk diperjuangkan agar kita semakin memahami arti hidup beriman, maka pada bagian ini akan dikemukakan tentang pengalaman yang merupakan kemunduran dalam cara hidup beriman. Pengalaman sekitar hal iman yang menurun, misalnya adalah pengalaman pribadi saya tentang berdoa makan. Pada waktu saya kecil, saya masih mengingat bahwa pada masa itu orang Kristen berdoa sebelum dan sesudah makan. Sebelum makan, isi doa adalah memohon berkat dan sesudah makan menyampaikan terima kasih tetapi kebiasaan itu sekarang sudah berubah, hanya sebelum makan orang berdoa dan tidak lagi sesudah makan, entah sejak kapan berubah; bahkan ada banyak orang Kristen yang tidak berdoa sebelum makan maupun sesudah makan. Ini hanya sebuah contoh dan kalau kita merenungkan dengan baik, maka mungkin kita akan menemukan banyak hal lain yang terkait dengan iman yang mungkin semakin merosot. Sudah menjadi tugas kitalah untuk menemukan kelemahan-kelemahan kita dan memperbaikinya.
Setelah menuliskan semua ini, saya bergumul dengan diri sendiri tentang mengapa saya kesulitan untuk menemukan peningkatan yang telah terjadi dalam Gereja Toraja Mamasa. Mungkin karena saya masih terlalu muda dan belum mampu untuk melihat perkembangan tetapi sebaliknya lebih mudah untuk melihat hal-hal yang masih kurang untuk dikembangkan; atau bisa juga karena saya belum mempunyai bahan perbandingan antara masa dulu dan masa sekarang yang cukup tentang Gereja Toraja Mamasa, sekali lagi terkait dengan status sebagai orang yang belum cukup berumur. Tetapi juga bisa terjadi bahwa karena orang tua selalu bercerita bahwa kehidupan beriman pada masa dulu lebih baik dari sekarang. Nostalgia orang tua yang membuat generasi muda semakin ragu untuk mengambil tindakan sebab selalu merasa akan sia-sia sebab masa dulu selalu lebih baik. Mungkin inilah maksud Pengkhotbah menulis dalam khotbahnya:
- Janganlah
mengatakan: "Mengapa zaman dulu lebih baik dari pada zaman sekarang?"
Karena bukannya berdasarkan hikmat engkau menanyakan hal itu
(Pengkhotbah 7:10).
Mengakhiri catatan kecil ini, dua catatan hendak disampaikan untuk direnungkan dan dicarikan jalan keluar dalam pelayanan selanjutnya. Satu, Sejak Sidang Sinode pertama, Gereja Toraja Mamasa selalu bergumul dengan peningkatan anggota jemaat yang secara kuantitatif tidak seimbang dengan jumlah pelayan yang tersedia; P. Pangloly, S.Th. Catatan-Catatan Historis Gereja Toraja Mamasa, makalah; 1997. Sampai saat ini tetap saja hal ini menjadi pergumulan Gereja Toraja Mamasa yang semakin dipersulit oleh adanya beberapa dari pelayan Gereja Toraja Mamasa yang sedikit itu tidak lagi sepenuhnya untuk memikirkan pelayanan sebagai pendeta Gereja Toraja Mamasa penuh waktu dan perhatian tetapi merasa lebih terpanggil untuk memikirkan pelayanan yang lebih luas dan tinggallah pergumulan itu semakin sulit untuk dicarikan jalan keluar. Dua, sampai saat ini Injil Yesus belum mampu menembus kehidupan orang Mamasa di beberapa daerah lingkup pelayanan Gereja Toraja Mamasa yaitu masih adanya orang Mamasa yang tetap berpegang pada kepercayaan orang-tua dan tidak menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan, yaitu sedikit orang di wilayah Tandalangngan, Tandasau’ dan Pitu Ulunna Salu. Hal ini disebutkan tanpa melalui penelitian khusus, tetapi ini tetap juga hendaknya menjadi perenungan kita bahwa ketika sampai pada perayaan Seratus Tahun Injil Masuk Mamasa, mengapa tetap ada orang Mamasa yang tidak bisa menerimanya.
Demikian seluruh catatan singkat ini dikemukakan bukan untuk membuka mata kita pada pendekatan negatif yang semakin jauh terhadap Gereja Toraja Mamasa sebagai buah dari Injil yang kita terima seratus tahun lalu itu, tetapi supaya kita bergerak ke arah yang lebih baik pada masa yang akan datang. Selamat bagi Gereja Toraja Mamasa dan bagi seluruh umat Kristen yang turut merayakan momen ini.
Kepustakaan
Buku:
Adina Chapman, Pengantar Perjanjian Baru, Bandung: Kalam Hidup, 1980.Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Edisi Studi, Jakarta: LAI, 2011.
W. A. van der Klis, Datanglah Kerajaan-Mu, Toraja: Sulo, 2007
Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I –A-L, Jakarta: YKBK/OMF, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar